Pancasila dan Bung Karno
Tidak Terpisahkan
(Pancasila
And Bung Karno Are Inseparable)
Soekarno di Jebloskan Ke Sukamiskin
SOEKARNO atau yang
lebih akrab dipanggil Bung Karno, merupakan presiden pertama Republik Indpnesia
sejak 1945 – 1966, beliau menganut ideologi pembangunan ’Berdiri di atas kaki
sendiri’. Proklamator yang lahir di Lawang Seketeng Plampitan Peneleh,
Surabaya, Jawa Timur, 6 Juni 1901 ini dengan gagah mengejek Amerika Serikat dan
Negara kapitalis lainnya: “Go to hell
with your aid.” Yang artinya, Persetan dengan bantuanmu. Hal ini bermakna
bahwa bung Karno pada masa pemerintahannya sama sekali tidak mengemis bantuan
dalam hal apapun kepada Negara yang pernah menjajah/bahkan ingin merebut
kemerdekaan NKRI, bagi bung Karno, Indonesia mampu berkembang dan maju, tidak
pantas untuk “direndahkan”.
Masa kecil Bung Karno
memang sudah diisi semangat kemandirian. Beliau hanya beberapa tahun hidup
bersama orang tuanya di Blitar. Semasa SD hingga tamat, dia tinggal di kota Pahlawan Surabaya,
indekos di rumah Haji Oemar Said Tjokroaminoto, politisi kawakan pendiri
Syarikat Islam. Kemudian Bung Karno melanjutkan ke HBS (Hoogere Burger School).
Saat belajar di HBS, beliau telah menggembleng jiwa nasionalismenya. Selepas
lulus HBS pada tahun 1920, beliau pindah ke Bandung dan melanjutkan ke THS
(Technical Hoogeschool atau sekolah teknik tinggi yang sekarang berganti nama
menjadi ITB). Beliau berhasil meraih gelar ”Ir”
pada 25 Mei 1926.
Kemudian, beliau
merumuskan ajaran Marhaenisme dan mendirikan PNI (Partai Nasional Indonesia)
pada 4 Juli 1927, dengan tujuan Indonesia Merdeka. Akibatnya, Belanda
menjebloskannya ke penjara Sukamiskin, Bandung. Delapan bulan kemudian baru
disidangkan. Dalam pembelaannya berjudul Indonesia Menggugat, dengan gagah
berani beliau menelanjangi kemurtadan Belanda, bangsa yang mengaku lebih maju
itu, padahal sebenarnya tidak ada apa – apanya disbanding Indonesia, jika
rakyat Indonesia mau membenahi diri dan bersatu untuk meraih kemerdekaan Negara Indonesia.
Perjuangan Bung Karno
demi mewujudkan kemerdekaan Negara Indonesia sangat besar, segala upaya beliau
lakukan meski dengan mengorbankan dirinya demi kemerdekaan Indonesia. Bung
Karno dengan semangat Nasionalismenya membagikan segala kemampuan yang dia
punya kepada pemuda – pemuda Indonesia, dan menjadi suri tauladan pada masa
kepemimpinannya.
Bahkan hingga saat ini
Bung Karno masih menjadi idola bagi tokoh – tokoh penting di dunia. Kharisma
serta kepandaian Bung Karno tidak perlu dipertanyakan lagi. Beliau mampu
membangkitkan semangat rakyat Indonesia untuk bangkit dari keterpurukan meski
kondisinya sendiri dalam kesusahan, dipenjara, tapi tetap mampu menggerakkan
rakyat Indonesia yang diluar.
Bung Karno mampu
bersekolah di tengah – tengah bangsa asing tapi tetap menjaga nasionalismenya.
Ilmu yang beliau peroleh, ditumpahkan seluruhnya demi menggapai cita – cita
kemerdekaan Negara Indonesia.
Bung Karno merupakan
satu – satunya Presiden yang menguasai Sembilan bahasa Negara PBB. Belum ada
satu pun Presiden di dunia sampai detik ini yang mampu menguasai Sembilan
bahasa Negara PBB. Maka berbanggalah Indonesia yang memiliki seorang presiden
yang cerdas dan kecerdasannya diakui oleh dunia. Bahkan hingga sekarang masih
banyak system pemerintahan yang pernah diterapkan oleh Bung Karno justru diadopsi
oleh Negara lain dan berhasil, misal dalam segi ekonomi. Namun sayang, justru
Indonesia seakan memandang sebelah mata dan cenderung mementingkan kekuasaan.
Jangan ‘ Gebyah Uyah ‘ Sejarah
Secara Dangkal
Setiap
kali berada dalam suasana Peringatan Proklamasi Kemerdekaan, Kita selalu
melayangkan sejenak ingatan ke masa lampau. Hal ini juga kita tancapkan
perhatian pada suatu realita tentang keadaan sekarang, dan memproyeksikan
renungan kita ke masa depan.
Menurut
pandangan tridimensional ini, ke arah masa lampau, kini, dan masa depan, adalah
suatu tanda kesadaran sejarah, yang didukung rasa tanggung jawab mendalam untuk
mengantarkan perjuangan bangsa ke arah cita-cita Proklamasi.
Restrospeksi
ke masa lampau pada hakikatnya berwatak introspektif. Hal ini harus dilakukan
secara tajam dan objektif. Juga secara akurat mengkoleksi fakta yang kita alami
bersama, dan juga secara pandai dalam
menyeleksi fakta mana yang pokok penting dan fundamental, serta mana yang tak
begitu penting dalam mempengaruhi perjalanan sejarah.
Kalau
tidak, kita akan saling mengalami kekaburan pandangan, dan pendangkalan serta
penyimpitan visi kita ke masa lampau. Ini akan sangat berpengaruh negatif
terhadap visi kita ke masa sekarang dan masa yang akan mendatang.
Hal
ini harus dicegah, kita jangan sampai terjerumus ke dalam over simplification
dan over exaggeration, Yang artinya pandangan terlalu naïf dangkal dan
membesar-besarkan sambil menyombong-nyombongkan secara kosong.
Apalagi
menggeneralisasi, Yang artinya menggebyah uyah masa lampau dan sekarang tanpa
menyadari, selalu ada kesinambungan dan perubahan. Change and continuity, yang
menunjukan adanya dinamika dan dialektika dari persamaan dan perbedaan.
Dalam
hubungan ini sangat mencengangkan, apabila adanya ucapan dari sementara pihak
golongan cendekiawan di Jawa Tengah seperti yang diberitakan pers, “ ada titik
persamaan antara rezim Orde Lama dan Orde Baru, yakni sama-sama menyelewengkan
penafsiran Pancasila dan UUD 45 demi kepentingan elite politik atau golongan
tertentu “.
Hal
ini juga diungkapkan oleh, “ Orde Baru dan Orde Lama adalah sebutan yang
keduanya secara fakta telah mengalami kecelakaan sejarah, menyengsarakan seluruh rakyat Indonesia, bahkan menjadikan
absurditas harkat martabat bangsa. “ Di tambah lagi ungkapan, “ Orde Baru dan
Orde Lama sama-sama tak demokratis, yang merusak tatanan segalanya “.
Sinis-Ironis
Bukan main tajamnya ungkapan-ungkapan itu. Hal ini apabila
pers kita memberitakannya secara akurat. Bagaimanapun segala ungkapan itu
bernada sinis-ironis. Apakah benar kita ini sejak Proklamasi Kemerdekaan kita 53 tahun lalu menyengsarakan
rakyat?. Merusak segala tatanan? Selalu menyeleweng dari Pancasila dan UUd 45? Dan terus-menerus tidak
demokratis dalam kehidupan bernegara, bermasyarakat dan berbangsa?
Kalau
memang begitu buruk wajah Negara dan bangsa kita, mengapa situasi sekarang jauh
lebih baik dibandingkan zaman kolonialisme Belanda dan militerisme Jepang?
Mengapa
kita dapat memelihara swasembada sandang-pangan, sekalipun kita mengalami
eksplosi demografis sejumlah penduduk semasa kolonialisme dulu?
Mengapa
kita dapat memaksa mundur 350.000 tentara Jepang, 100.000 tentara Inggris, dan
250.000 tentara Belanda dalam periode Revolusi Fisik 1945-1950?
Mengapa
kita kemudian dapat survive menghadapi pemberontakan PKI, Darul-Islam,
separatisme PRRI/Permesta, dan dapat memprakarsai Konferensi AA dan Gerakan
Nonblok, masing-masing pada 1955 dan 1961 menghadapi Perang Dingin?
Dan
mengapa kita kemudian berdaya membebaskan
Irian Barat dari cengkeraman kolonialisme?
Inilah
realita sejarah yang tak dapat kita putar balik. Dan tak dapat kita palsukan
memang dalam suasana mengadakan retrospeksi historis sejak Proklamasi
Kemerdekaan hingga sekarang, kita perlu mengadakan periodesasi atau pembabakan.
Dan,
bila kita menggunakan pendekatan, perjuangan kemerdekaan itu sebenarnya suatu
gerakan pembangunan maha besar, maka harus diakui adanya nation and character
building pada awalnya yaitu membangkitkan jiwa nasionalisme dan patriotisme
melawan kolonialisme/militerisme, yang berhasil kita tingkatkan menjadi
Pancasila sebagai watak bangsa pada 1 Juni 1945.
Fase
nation and character building ini kemudian disusul fase state building sejak
Proklamasi Kemerdekaan. Dalam pidato pengantar Naskah Proklamasi Kemerdekaan pada
17 Agustus 1945, Bung Karno berseru: “ Kita sekarang telah merdeka. Tidak ada
satu Ikatan lagi yang mengikat Tanah Air kita dan bangsa kita. Mulai saat ini
kita menyusun Negara kita! Negara Merdeka! Negara Republik Indonesia! merdeka,
kekal, dan abadi, Insya Allah, Tuhan memberkati kemerdekaan kita itu! “
Demikian
awal fase state building kita, yang harus kita bangun out of scratch, dari
reruntuhan militerisme Jepang dan ancaman kembalinya kolonialisme Belanda.
Walau begitu kita dapat serentak membangun Tentara Nasional sendiri, hubungan
luar negeri sendiri, dan mata uang sendiri.
Atribut
Pokok
Tiga
perkara ini own national army, own foreign relations, dan own currency adalah
atribut pokok dari suatu Negara yang merdeka dan berdaulat, Dan ini berhasil kita
miliki dan pelihara hingga sekarang.
Bersamaan
itu, kita pun dapat menyusun MPRS, DPR Pusat, dan DPR daerah-daerah.Semua
ikhtiar jujur kea rah demokratisasi. Juga berbagai pemilu dapat kita
laksanakan, sejak 1955.
Memang
harus diakui, sejak fase economy building secara besar-besaran pada 1966/1967.
Kita terlalu mengandalkan bantuan finek dan iptek luar negeri. Kita menjalankan
open door policy (politik pintu terbuka) dan mengutamakan pedekatan keamanan
dan stabilitas (security and stability approach), yang sangat ketat.
Dalam
situasi mondial sejak 1990-an, waktu dunia mengalami berantaknya komunisme
internasional, dan meningkatnya proses globalisasi dan konglomeratisasi, masuk
crony capitalism ke dalam masyarakat kita, yaitu kapitalisme kerabat dan keluarga,
yang berwatak kapitalisme kaki tangan luar negeri dan kapitalisme tipuan.
Inilah
yang menimbulkan kesenjangan sosial, kecemburuan sosial, dan gejolak sosial.
Semua itu kemudian diperberat oleh krisis multikompleks, dan yang menyuburkan
nafsu kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN).
Semua
itu meledak pada 21 Mei 1998. Ledakan itu belum menggerakan reformasi secara
total fundamental, karena baik struktur pemerintah maupun oknum-oknum yang
bernafsu KKN belum direformasi.
Inilah
yang harus kita sadari dalam suasana peringatan Proklamasi Kemerdekaan. Jangan
sekali-kali kita memukul rata, menggeneralisasi, dan meng-gebyah uyah secara
dangkal dan sempit sejarah perjuangan kemerdekaan kita selama puluhan tahun
ini!
Negarawan Pancasila
Beberapa
hari lalu ada sahabat tanya saya bagaimana keinginan dan harapan saya mengenai
Presiden yang akan kita pilih pada tahun 2014. Saya langsung menjawab : Saya
harapkan Presiden kita yang akan datang seorang Negarawan yang berjiwa dan
bersemangat Pancasila.
Negarawan
yang tidak hanya memandang Pancasila sebagai satu Ideal dan Filsafah saja,
tetapi disertai tekad untuk menjadikan Pancasila satu kenyataan hidup, satu living
reality, di Indonesia. Untuk itu kita perlukan seorang Presiden yang
negarawan, bukan sekedar seorang pemimpin politik.
Pikiran
saya ini didorong oleh kenyataan bahwa sekalipun semua orang Indonesia setuju
Pancasila menjadi Dasar NKRI, namun dalam kenyataan amat sukar menemukan
implementasinya dalam kehidupan bangsa. Dengan begitu kita mudah sekali dicap sebagai
bangsa paling munafik, tidak hanya bangsa yang amat korup.
Makna
Pancasila yang utama dan perlu segera terwujud adalah Kesejahteraan Lahir Batin
yang tinggi dan merata untuk seluruh Rakyat Indonesia. Kenyataan baru itu akan
amat membantu untuk menciptakan kondisi lain yang bersangkutan dengan
nilai-nilai Pancasila. Tidak ada keberatan bahwa di Indonesia ada orang kaya
milyarder, tetapi itu harus disertai rendahnya jumlah orang miskin dan
sempitnya kesenjangan antara kaya-miskin. Itu menggambarkan Harmoni dalam
masyarakat Indonesia sebagaimana dikehendaki Pancasila.
Untuk itu
perlu diciptakan kesempatan kerja penuh bagi rakyat yang memberikan penghasilan
makin baik bagi rakyat seluruhnya. Dengan begitu lambat laun bagian terbesar
rakyat menjadi golongan menengah. Hal itu akan sangat mengurangi pengaruh
radikalisme dan daya tarik menjadi teroris, juga kesediaan menjadi agen negara
asing.
Yang maju
dan sejahtera tidak hanya rakyat di kota-kota besar saja, melainkan juga
desa-desa yang tersebar di seluruh Indonesia. Bagi Indonesia sebagai Negara
Nusantara itu berarti bahwa baik pertanian maupun perikanan maju dan
menghasilkan makanan bagi rakyat secara luas.
Akan
tetapi juga pertambangan dan perindustrian maju, khususnya kegiatan industri
yang menghasilkan nilai tambah bagi berbagai produk pertanian, perikanan dan
pertambangan yang dihasilkan bangsa kita. Dan usaha itu selain dilakukan oleh
perusahaan besar swasta dan BUMN juga oleh berbagai Usaha Mikro-Kecil-Menengah
yang besar jumlahnya dan menjadi penyedia kesempatan kerja utama dalam
masyarakat.
Negarawan
Pancasila itu sadar bahwa kesejahteraan harus didukung oleh infrastruktur yang
luas dan efektif. Hubungan darat, laut dan udara dapat dilaksanakan dengan
makin luas dan efektif, seperti kemampuan untuk secara teratur dan sering
menyinggahi setiap pulau yang dihuni orang Indonesia. Juga tersedianya listrik
yang memadai, baik bagi sektor industri tetapi juga bagi rakyat yang tersebar
di wilayah nasional yang luas.
Kesejahteraan
lahir dan batin memerlukan pendidikan nasional yang bermutu dan terjangkau oleh
seluruh lapisan masyarakat. Menjadikan manusia Indonesia makin cerdas,
berkarakter kuat, berbudi pekerti luhur dan mampu berpartisipasi dalam produksi
nasional secara efektif. Manusia demikian semoga makin jauh dari perbuatan
korupsi dan kuat menolak narkoba.
Kesejahteraan juga mengharuskan
adanya usaha Pemerintah untuk menyediakan Jaminan Kesehatan dan Jaminan Sosial
lain bagi seluruh rakyat.
Negarawan
Pancasila sebagai Presiden RI mempunyai kewibawaan untuk mengajak seluruh
masyarakat ikut aktif merealisasikan hal ini, khususnya para pemimpin daerah
dan organisasi yang ada dalam masyarakat. Ia cakap menginspirasi semangat dan
elan bangsa untuk bersama-sama mewujudkan ini.
Makin
tingginya kesejahteraan rakyat memungkinkan rakyat berpartisipasi secara aktif
dan bermutu dalam kehidupan demokrasi bangsa. Tidak bisa lagi suara dan haknya
dibeli dengan uang, dikelabui atau diintimidasi. Dengan begitu pengertian
kedaulatan rakyat, yaitu rakyat berkuasa, makin menjadi kenyataan. Dan
keterwakilan seluruh unsur bangsa dapat terjamin. Akan terwujud Demokrasi
Pancasila yang menciptakan kepuasan hidup rakyat dan terbentuk percaya diri
serta keteguhan hati untuk membelanya.
Hal ini
semua menjadikan Kebangsaan Indonesia satu hal yang kongkrit-nyata bagi rakyat
umumnya, termasuk mereka yang tinggal di perbatasan Negara yang sekarang lebih
melihat kehidupan yang lebih maju-sejahtera di Negara tetangga . Demikian pula
bagi rakyat Papua yang sekarang mungkin masih banyak yang bertanya untuk apa ia
menjadi bangsa Indonesia. Makin sempit ruang gerak bagi subversi untuk merekrut
calon teroris, untuk meracuni masyarakat dengan pikiran yang merugikan bangsa.
Akan
tetapi Presiden yang Negarawan Pancasila juga bersikap tegas dalam menindak
berbagai pelanggaran, khususnya yang dilakukan mereka yang mau meruntuhkan NKRI
dan Pancasila, termasuk penggunaan kekerasan ketika berbeda pendapat dalam soal
agama dan sosial lainnya, terhadap para koruptor dan penyebar serta pengguna
narkoba.
Indonesia
dalam wujud itu akan kuat posisinya dalam masyarakat internasional. Apalagi
kalau tingginya kesejahteraan rakyat memungkinkan Pemerintah membentuk revenue
makin besar dan dengan itu dapat membiayai perkembangan Tentara Nasional
Indonesia sebagai kekuatan pertahanan yang andal harmonis di darat, laut dan
udara.
Hasil dari
kesejahteraan lahir dan batin yang makin tinggi menjadikan kehidupan bangsa
Indonesia makin tinggi tingkat peradabannya. Budaya bangsa yang asli selalu
dipelihara dan ditingkatkan mutunya, dan makin dapat dilengkapi dengan
peradaban sebagai hasil peningkatan mutu pendidikan, penelitian pengembangan
dan berbagai kegiatan masa kini. Masyarakat dunia akan mengenal Indonesia tidak
hanya dari keseniannya yang tersohor, seperti tari Bali dan Jawa, musik
angklung atau wayang kulit , tetapi juga dari makin banyaknya film dan novel
Indonesia bermutu, makin banyaknya penemuan di bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi, dari prestasi olahraganya. Tidak aneh kalau nanti ada orang
Indonesia mendapat Hadiah Nobel, baik sebagai sastrawan atau ilmuwan, atau
menjadi Juara Dunia dalam olahraga.
Namun
dengan segala kemajuan itu manusia Indonesia selalu tahu diri, bahwa ini semua
dimungkinkan karena perjuangan hidupnya diridhoi Tuhan Yang Maha Esa. Sebab itu
ia sadar bahwa tidak ada tempat bagi arogansi, apalagi kegemaran menggunakan
tindakan kekerasan. Sebaliknya selalu diusahakan Harmoni dan Keselarasan, baik
dalam hubungan antara berbagai suku dan etnik yang membentuk bangsa Indonesia,
antara penganut macam-macam agama, maupun hubungan bangsa Indonesia dengan
bangsa lain di dunia.
Insya
Allah Negarawan Pancasila akan memimpin rakyat Indonesia dalam perjuangan
mencapai Tujuan Nasional, Perjuangan Bangsa Yang Tiada Akhir ! Semoga bangsa
Indonesia paling lambat pada tahun 2014 memperoleh karunia Allah itu.
Tidak Pancasilaiskah Aku?
Sebenarnya kita belum
merdeka. Ini bukan sebuah kontroversi atau sekedar sensasi. Setidaknya jika
kita merenung sejenak, setelah 60 kali merayakan hari kemerdekaan, apa sebenarnya
yang telah dimerdekakan dari hajat hidup ratusan juta penduduk negeri kepulauan
ini? Benarkah kemerdekaan telah kita hayati dan nikmati, atau ternyata kita
telah menipu diri sekian lama? Ketika kenyataan praktis satu per satu membuka
mata, sekujur hidup kita sebenarnya masih terbelenggu.
Gelegar
proklamasi 17 Agustus 1945 kita ketahui dari fakta historis adalah melulu
pernyataan yang menggema ke dalam. Pengakuan diri saja. Secara global ini
menjadi “realitas” beberapa tahun kemudian. Realitas itu pun menjadi sebuah
performa politik (international) belaka, dimana syarat-syarat sebuah negara
telah terpenuhi.
Diatas kertas, perangkat-perangkat negara secara
konvensional terpenuhi. Namun, sungguhkah ia terpenuhi secara substansial,
secara esensial, dalam praktis dan keyakinan sehari-hari? Tidakkah ia sekedar
simbolisme (negara modern), retorik, dan ternyata melulu nama belaka?
Pertanyaan-pertanyaan ini melibatkan pada
realitas-realitas lain dari hidup kita yang ternyata belum merdeka. Secara
retorik dan simbolik, kita mungkin menikmati kemerdekaan ekonomi, hukum,
tradisi, agama dan sebagainnya.
Namun, benarkah sistem hukum kita telah merdeka, saat
banyak produk hukum kolonial dan jiplakan hukum oksidental masih memenuhi hutan
perundang-undangan kita? Benarkah sistem ekonomi kita merdeka, ketika kelas
pedagang (dengan orientas dan filosofi baru) belum bisa menggantikan para
pelaku ekonomi tradisional, saat aturan-aturan main lokal masih ditentukan oleh
aneka tekanan kapital besar dan kekuatan multinasional?
Sudahkah sistem peribadatan kita merdeka, ketika
paham-paham ultrakonservatif dan pembela status quo (tradisionalisme) masih
merepresi pemahaman-pemahaman baru, menjegal cara dan ruang agama lain?
Sudahkah sistem sosial
dan cara hidup kita merdeka, ketika impuls-impuls tradisi dalam masih menguasai
kita, ketika patriarki feodal dan kolonial masih memenuhi pola hubungan, ketika
chauvinisme lokal malah merajalela?
Bahkan secara politis,
kenyataan merdeka yang paling terakui ternyata belum merdeka. Terutama saat
kita tidak berhasil merumuskan kebutuhan dan cara mengelola negeri sendiri,
kecuali dengan kadar mengadopsi bahkan memplagiasi cara-cara orang lain.
Sekian banyak aturan (konstitusi amandemen,
undang-undang, hingga perda) institusi modern (pemilu langsung, dewan senator,
parlemen KPK, berbagai komnas, dan seterusnya), tinggal sebagai tinta di atas
kertas sebagai penanda modernitas. Tetapi culture dibaliknya, yang menetukan
output semua hal itu, masih terjajah masa lalu, oleh tradisi, oleh keyakinan
sempit dan mistisisme yang involutif. Jujur saja kita belim merdeka.
Pancasila Beku dan Baru
Bukan salah founding fathers and mothers, tetapi ini
semua karena kekurangan dan kelemahan kita saat ini. Para founding fathers
telah memproduksi dan mengaktualisasi kata “merdeka” dalam fungsi dan porsi
yang sesuai dengan masanya, menjadi simpul energi dari 60 juta penduduk negeri
untuk bergerak melawan pemerintahan dan kolonial. Tidak lebih. Dan tidak dapat
kita harapkan 60 juta pikiran itu memahami benar makna merdeka. Setidaknya 60
juta kepala adalah 60 juta tafsir tentang “merdeka”. Tafsir yang berbeda antara
Tanah Malaka, Semaun, Soekarno, Sudirman, Amir Hamzah, Takdir Alisjahbana,
Hatta, dan lainnya.
Yang menyatukan mereka, sinergi melawan dan membebaskan diri
dari kolonialisme, secara simbolik belum substansial. Karena kemerdekaan
politis simbolik itu mengangkut semua yang berbau kolonial, bernyawa masa lalu,
bahkan untuk sekian lama sesudahnya.
Jika kemudian para
founding mencoba merumuskan isi atau substansi baru dari sebuah entitas bernama
“indonesia”, ia baru berupa rumusan sebuah ideal dengan sekali dua eksperimen
(yang ternyata gagal semua). Maka “indonesia” datang pada kita, masih dalam
bentuk idea yang abstrak, baru menjadi semacam sacred canopy-nya Peter Berger,
langit tanpa bumi berpijak atap atau tanpa struktur bangunan dibawahnya, tetapi
demikianlah batas akhir founders.
Kita yang kemudian gagal melanjutkannya, menciptakan bumi
tempat kita landas menuju langit, menyusun kamar-kamar yang membangun struktur
bangunan atapnya, memanifestasi praksis sebagaimana ideanya. Dan kita tak hanya
gagal, kita mengkhianatinya.
Hal yang identik terjadi pada “pancasila”, yang
belakangan kita dengungkan sebagai sendi dasar final atau jati diri final
sebuah bangsa bernama “Indonesia”. Sementara entitas terakhir ini masih sumir,
maka landasan eksistensialnya sesungguhnya masih bergoyah. Beberapa pihak
belakangan menyatakan dan menyerukan untuk kembali pada “Pancasila” yang murni
(rumusan Soekarno) bahkan di Bali baru-baru ini muncul maklumat yang meminta
bangsa untuk melaksanakan kembali UUD 45.
Sebuah gerak retroaktif
yang konservatif, bahkan fundamentalis (secara politis) dengan keyakinan
romantis bahwa ia kini akan menyelesaikan kedegilan hidup masa kini. Keyakinan
taqlid yang kadang melebihi kepatuhan mereka pada agama (dengan tradisi ribuan
tahun) yang meski diimani lahir batin –masih membuka diri pada perubahan.
Pancasila seolah selesai dalm pemberhentian 60 tahun lalu. No more questions.
Akhir-akhir ini kita justru mendapat bukti negatif dari
mengerasnya gerak separasi, dengan lepasnya Timor Tengah, “negara’ dalam negara
pada kasus Aceh, atau gerak Papua merdeka yang kian mengglobal. Bersatukah
kita, saat separasi sosial kian melebar dan semua kelas fanatik dengan
kepentingan golongan tersendiri? Persatuankah kita, saat sistem hukum, politik,
dan ekonomi kian memperlebar jurang di antara rakyatnya sendiri, “tebang
pilih”, “pilih kasih”, atau nepotisme yang menguat belakangan ini?
Pemeriksaan jujur yang mengabarkan pada kita, Pancasila
tidak saja tidak (lagi) menjadi sumber acuan, tetapi juga keteteran menghadapi
pergerakan zaman (dan manusia), di mana tasfir lama tak kuat menampung aspirasi
dan produk kultural baru yang menghujani peri-hidup kita sehari-hari. Maka,
jika aku mengharap agama fleksibel untuk menjawab kekinianku, apa tidak
pancasilaiskah aku saat ku tuntut pancasila hidup dan berkembang mengiringi
pergolakan besar hidup di zaman ini? Pancasila itu jati diri, maka batu pulalah
aku, batu pulalah indonesia. Itukah yang kan mau?
Orde Baru Lakukan Banyak Rekayasa Penulisan Sejarah
Masyarakat hendaknya berani mengguggat keputusan-keputusan
politik warisan pemerintahan Orde Baru menyangkut sejumlah peringatan hari-hari
bersejarah yang dianggap bermasalah oleh masyarakat luas. Gugatan seperti itu
perlu dilakukan karena setiap penulisan sejarah pada masa tertentu pasti takkan
pernah bebas “nilai” dan kepentingan politik rezim penguasa.
Pemerintah Orde Baru telah banyak
melakukan rekayasa penulisan sejarah lewat cara penulisan sejarah dengan
sejumlah pembiasan atau sengaja membeberkan secara besar-besaran atas sejumlah
peristiwa sejarah tertentu dan meredusir fakta lainnya. Pembiasan fakta sejarah
karena kepentingan politik tertentu Orde Baru itu juga telah dilakukan rezim
Orde Baru ketika harus menulis fakta sejarah tentang peran besar mendiang
Presiden Soekarno.
Orde Baru telah meredusir sedemikian
rupa tentang peran besar Soekarno lewat cara sederhana, misalnya dengan
menghilangkan fotonya pada buku-buku sejarah atau larangan untuk melakukan
studi tentang ajaran-ajaran Soekarno. Paengebirian lain adalah kebijakan
menghilangkan kebiasaan memperingatihari sejarah 1 Juni sebagai hari lahirnya
pancasila.
Fenomena serupa dengan tingkat
intensitas pembiasan berbeda juga terjadi pada peristiwa-peristiwa penting
lainnyaseperti G30S/PKI, harusnya warisan seperti ini sudah saatnya perlu
dilakukan revisi terhadap buku-buku sejarah nasional Indonesia. Setiap hasil
penulisan sejarah tetap terbuka kemungkinan untuk dilakukan perubahan atau
revisi. Setiap kali ditemukan dokumen-dokumen atau bukti baru, setiap sejarawan
lalu bias melakukan revisi terhadap tulisannya.
Munculnya pandangan-pandangan baru
atau perspektif lain, dikenalinya pendekatan, metode, dan bidang baru bisa
menyebabkan perubahan dalam penulisan sejarah. Sudut pandang Orde Baru dalam
memahami berbagai fakta di masa lampau hendaknya segera diganti dengan
perspektif reformasi yang kini menjadi arus besar dalam cara pandang masyarakat
Indonesia.
Negara Pancasila
SEPERTI apa negara Pancasila? Dunia
sebenarnya ingin melihat wujud konkret negara dengan ideologi unik itu. Beban
terbesar pada negara Indonesia untuk membuktikan bahwa ideologi itu bukan hanya
bagus dalam rumusan.
Dalam praktiknya, Indonesia lebih
akrab dengan definisi "bukan negara agama, juga bukan negara
sekuler". Definisi sempit tersebut hanya melihat Pancasila dalam kerangka
relasi antara agama dan negara. Bahkan, definisi neither-nor itu menjadi
apologi penguasa dan sesungguhnya tidak operasional.
Menyikapi kegagalan negara untuk memperbaiki kondisi sosial-ekonomi masyarakat dengan pencapaian terukur, pemerintah berkilah bahwa pencapaian dunia akhirat juga penting. Menyikapi gangguan dari ekstremis agama, pemerintah menegaskan bahwa Indonesia bukan negara agama.
Watak sekuler negara ditonjolkan dengan konstitusi yang tidak didasarkan pada suatu agama dan juga dengan keterbukaan terhadap modernitas.
Problem menegara
Identitas negara yang serba negatif itu membuat gerak Indonesia berayun di antara dua ideologi, tidak bergerak maju membawa bangsa keluar dari jerat kemiskinan dan korupsi. Tanpa Pancasila, Indonesia tidak memiliki cita-cita untuk diperjuangkan bersama.
Sejatinya, Pancasila adalah soal perjuangan. Untuk itu, penyelenggara dan warga negara harus Pancasilais.
Kelalaian bersama selama ini adalah melihat Pancasila hanya sebagai dasar negara. Negara dilihat sebagai sebuah bangunan statis. Dengan tersedianya fondasi negara, seolah-olah selesai juga bangunan bernama Indonesia.
Namun, Driyarkara memandang negara sebagai entitas politik yang dinamis, bagian dari aktivitas manusia dalam menegara. Negara Indonesia harus menegara bersama Pancasila.
Dalam perspektif menegara, kokoh tidaknya bangunan Indonesia bergantung pada seberapa jauh Pancasila menjadi ideologi yang hidup, terinternalisasi dalam perilaku penyelenggara dan warga negara. Begitulah Pancasila merupakan imperatif kategoris (norma) menegara.
Saat gonjang-ganjing bahwa Pancasila sudah ditinggalkan, pemerintah hanya melihatnya sebagai masalah sosialisasi dan kurikulum sekolah. Pancasila menjadi lebih sering tersua di media massa dan disebut-sebut dalam berbagai forum. Krisis ideologi yang begitu serius dan telah menelan korban jiwa dianggap selesai hanya dengan sosialisasi dan revisi kurikulum.
Problem serius Indonesia sekarang adalah mati surinya ideologi. Pancasila diabaikan dalam menyusun kebijakan dan perilaku politik. Ketika negara tidak Pancasilais, rakyatlah yang pertama-tama menderita.
Cukup banyak rakyat menjadi korban kekerasan karena penguasa tidak tegas memihak kemanusiaan yang adil dan beradab, terutama mereka yang lebih lemah. Negara hanya menjadi pemadam kebakaran sosial atau, lebih buruk lagi, penonton.
Oleh karena itu, warga pun sulit melihat relevansi langsung antara ideologi dan kenyataan hidup sehari-hari. Publik apatis dengan kesaktian Pancasila, yang seolah-olah hanya sakti untuk menghadapi komunisme pada masa lampau. Bersaing dengan fundamentalisme pasar dan fundamentalisme agama, Indonesia termasuk negara yang mudah berada dalam cengkeraman (soft country) kapitalisme global dan paham keagamaan transnasional.
Negara yang mengelak
Pancasila sebenarnya cukup ampuh menangkal ideologi asing sebab nilai-nilainya diangkat dari kultur bangsa. Namun, mengacu Driyarkara, Pancasila tidak boleh hanya berhenti pada nilai-nilai luhur (ideifikasi), tetapi harus diperjuangkan menjadi konkret (idealisasi). Pancasila tidak boleh berhenti pada tataran ide, tetapi harus menjadi cita-cita bersama.
Tanpa ideologi yang asertif, Indonesia sulit membendung penetrasi ideologi asing yang membuat Indonesia terpuruk dan sulit bangkit menjadi bangsa besar. Kita tetap akan dibicarakan sebagai negeri kaya dan bangsa yang berpotensi menjadi besar. Namun, kita tidak menjadi bangsa yang tangguh dan berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa maju.
Oleh karena itu, menjadi Pancasilais bukanlah imbauan moral seperti imbauan dalam agama. Pancasila bukan agama, meski juga tidak bertentangan, melainkan imperatif kategoris bernegara dan berbangsa. Bangsa Indonesia harus menjadi besar bukan karena agamanya-banyak bangsa juga beragama-melainkan karena hidup sebagai insan Pancasilais, dengan Pancasila sebagai ideologi pembentuk moralitas bangsa.
Pancasila seharusnya menentukan perilaku penyelenggara dan warga negara. Jika perilaku negara tidak Pancasilais, sulit mengharapkan warga Pancasilais.
Dalam pasar bebas ide, warga akan lebih tertarik dengan ideologi alternatif. Sekularisme, hedonisme, materialisme, dan seterusnya. Sebagai ideologi tengah, Pancasila seharusnya menjadi pembeda Indonesia, asalkan nilai-nilainya dihayati secara menyeluruh dan konsisten.
Entah sampai kapan Indonesia seperti mengelak untuk dikenal dengan identitas tunggal-positif atau profil ambigu itu dipertahankan. Jangan sampai muncul kesimpulan bahwa Indonesia tidak sekuler, tetapi juga tidak religius. Tidak cukup hanya rakyat yang dituntut Pancasilais.
Harus ada sanksi tegas bagi kepemimpinan publik yang tidak Pancasila atau yang memakai rujukan lain yang bertentangan dengan Pancasila dalam memimpin.
Dalam negara Pancasila, mestinya kebebasan melaksanakan ibadah dihormati dan dijamin sejauh kebebasan itu tak melanggar tertib umum. Toleransi di Indonesia tidak boleh lebih buruk daripada di negara komunis ataupun sekuler.
Hukum agama tidak boleh ditinggikan di atas hukum sipil seharusnya bebas dari bias agama. Tidak boleh ada kelompok minoritas yang menjadi target viktimisasi.
Dalam negara Pancasila, keadilan sosial seharusnya menjadi cita-cita bersama. Pemerintah berdiri di garis depan membongkar struktur-struktur yang memiskinkan rakyat. Negara menjadi regulator yang adil bagi rakyat untuk memiliki akses kepada kekayaan negeri. Tanggung jawab kita semualah mewujudkan negara Pancasila.
Menyikapi kegagalan negara untuk memperbaiki kondisi sosial-ekonomi masyarakat dengan pencapaian terukur, pemerintah berkilah bahwa pencapaian dunia akhirat juga penting. Menyikapi gangguan dari ekstremis agama, pemerintah menegaskan bahwa Indonesia bukan negara agama.
Watak sekuler negara ditonjolkan dengan konstitusi yang tidak didasarkan pada suatu agama dan juga dengan keterbukaan terhadap modernitas.
Problem menegara
Identitas negara yang serba negatif itu membuat gerak Indonesia berayun di antara dua ideologi, tidak bergerak maju membawa bangsa keluar dari jerat kemiskinan dan korupsi. Tanpa Pancasila, Indonesia tidak memiliki cita-cita untuk diperjuangkan bersama.
Sejatinya, Pancasila adalah soal perjuangan. Untuk itu, penyelenggara dan warga negara harus Pancasilais.
Kelalaian bersama selama ini adalah melihat Pancasila hanya sebagai dasar negara. Negara dilihat sebagai sebuah bangunan statis. Dengan tersedianya fondasi negara, seolah-olah selesai juga bangunan bernama Indonesia.
Namun, Driyarkara memandang negara sebagai entitas politik yang dinamis, bagian dari aktivitas manusia dalam menegara. Negara Indonesia harus menegara bersama Pancasila.
Dalam perspektif menegara, kokoh tidaknya bangunan Indonesia bergantung pada seberapa jauh Pancasila menjadi ideologi yang hidup, terinternalisasi dalam perilaku penyelenggara dan warga negara. Begitulah Pancasila merupakan imperatif kategoris (norma) menegara.
Saat gonjang-ganjing bahwa Pancasila sudah ditinggalkan, pemerintah hanya melihatnya sebagai masalah sosialisasi dan kurikulum sekolah. Pancasila menjadi lebih sering tersua di media massa dan disebut-sebut dalam berbagai forum. Krisis ideologi yang begitu serius dan telah menelan korban jiwa dianggap selesai hanya dengan sosialisasi dan revisi kurikulum.
Problem serius Indonesia sekarang adalah mati surinya ideologi. Pancasila diabaikan dalam menyusun kebijakan dan perilaku politik. Ketika negara tidak Pancasilais, rakyatlah yang pertama-tama menderita.
Cukup banyak rakyat menjadi korban kekerasan karena penguasa tidak tegas memihak kemanusiaan yang adil dan beradab, terutama mereka yang lebih lemah. Negara hanya menjadi pemadam kebakaran sosial atau, lebih buruk lagi, penonton.
Oleh karena itu, warga pun sulit melihat relevansi langsung antara ideologi dan kenyataan hidup sehari-hari. Publik apatis dengan kesaktian Pancasila, yang seolah-olah hanya sakti untuk menghadapi komunisme pada masa lampau. Bersaing dengan fundamentalisme pasar dan fundamentalisme agama, Indonesia termasuk negara yang mudah berada dalam cengkeraman (soft country) kapitalisme global dan paham keagamaan transnasional.
Negara yang mengelak
Pancasila sebenarnya cukup ampuh menangkal ideologi asing sebab nilai-nilainya diangkat dari kultur bangsa. Namun, mengacu Driyarkara, Pancasila tidak boleh hanya berhenti pada nilai-nilai luhur (ideifikasi), tetapi harus diperjuangkan menjadi konkret (idealisasi). Pancasila tidak boleh berhenti pada tataran ide, tetapi harus menjadi cita-cita bersama.
Tanpa ideologi yang asertif, Indonesia sulit membendung penetrasi ideologi asing yang membuat Indonesia terpuruk dan sulit bangkit menjadi bangsa besar. Kita tetap akan dibicarakan sebagai negeri kaya dan bangsa yang berpotensi menjadi besar. Namun, kita tidak menjadi bangsa yang tangguh dan berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa maju.
Oleh karena itu, menjadi Pancasilais bukanlah imbauan moral seperti imbauan dalam agama. Pancasila bukan agama, meski juga tidak bertentangan, melainkan imperatif kategoris bernegara dan berbangsa. Bangsa Indonesia harus menjadi besar bukan karena agamanya-banyak bangsa juga beragama-melainkan karena hidup sebagai insan Pancasilais, dengan Pancasila sebagai ideologi pembentuk moralitas bangsa.
Pancasila seharusnya menentukan perilaku penyelenggara dan warga negara. Jika perilaku negara tidak Pancasilais, sulit mengharapkan warga Pancasilais.
Dalam pasar bebas ide, warga akan lebih tertarik dengan ideologi alternatif. Sekularisme, hedonisme, materialisme, dan seterusnya. Sebagai ideologi tengah, Pancasila seharusnya menjadi pembeda Indonesia, asalkan nilai-nilainya dihayati secara menyeluruh dan konsisten.
Entah sampai kapan Indonesia seperti mengelak untuk dikenal dengan identitas tunggal-positif atau profil ambigu itu dipertahankan. Jangan sampai muncul kesimpulan bahwa Indonesia tidak sekuler, tetapi juga tidak religius. Tidak cukup hanya rakyat yang dituntut Pancasilais.
Harus ada sanksi tegas bagi kepemimpinan publik yang tidak Pancasila atau yang memakai rujukan lain yang bertentangan dengan Pancasila dalam memimpin.
Dalam negara Pancasila, mestinya kebebasan melaksanakan ibadah dihormati dan dijamin sejauh kebebasan itu tak melanggar tertib umum. Toleransi di Indonesia tidak boleh lebih buruk daripada di negara komunis ataupun sekuler.
Hukum agama tidak boleh ditinggikan di atas hukum sipil seharusnya bebas dari bias agama. Tidak boleh ada kelompok minoritas yang menjadi target viktimisasi.
Dalam negara Pancasila, keadilan sosial seharusnya menjadi cita-cita bersama. Pemerintah berdiri di garis depan membongkar struktur-struktur yang memiskinkan rakyat. Negara menjadi regulator yang adil bagi rakyat untuk memiliki akses kepada kekayaan negeri. Tanggung jawab kita semualah mewujudkan negara Pancasila.
Membangun (Kembali) Pendidikan Pancasila
“TANPA
Pancasila negara bubar.”
Kata itu pernah dipekikkan Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur.
Presiden Keempat Republik Indonesia itu dengan kesungguhan jiwanya berdiri
tegak di garda depan untuk terus menyuarakan nilai-nilai Pancasila dalam
kehidupan kebangsaan.
Gus
Dur memandang Pancasila dalam dua hal utama. Pertama, Pancasila sebagai
ideologi bangsa dan falsafah negara, berstatus sebagai kerangka berpikir yang
harus diikuti oleh undang-undang dan produk-produk hukum yang lain. Tata pikir
seluruh bangsa, menurutnya, ditentukan falsafah yang harus terusmenerus dijaga
keberadaan dan konsistensinya oleh negara.
Kedua,
sebagai falsafah dan ideologi negara, harus jelas dikatakan ‘adanya
tumpangtindih antara Pancasila dan sebagian sisi kehidupan beragama dan
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa’. Di sini, Gus Dur berargumentasi: di
satu sisi, agama-agama yang ada dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
mengandung unsur-unsur universal (meskipun semuanya juga mengandung unsur-unsur
eksklusif ) sehingga sulit dibatasi hanya dalam konteks keindonesiaan dan sisi
lain, Pancasila adalah keindonesiaan itu sendiri.
Gus
Dur kemudian menafsirkan bahwa hal ini langsung tampak dalam upaya Pancasila
untuk menekankan sisi kelapangan dada dan toleransi dalam kehidupan antarumat
beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Meski begitu, wawasan
tentang kebersamaan antaragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
tidak sepenuhnya sama dengan wawasan tentang itu dalam agama-agama dan
kepercayaan.
Dari
sini kemudian Gus Dur mengakui dua sisi; pertama, adanya independensi teologis
kebenaran setiap agama dan kepercayaan; dan kedua, Pancasila perlu bertindak
sebagai polisi lalu lintas dalam kehidupan beragama dan berkepercayaan. Gus Dur
menggambarkan ini dengan jelas dalam rumusan sederhana, tetapi sangat penting,
yaitu ‘semua agama diperlakukan sama oleh undang-undang dan diperlukan sama
oleh negara’. Di sini Pancasila sebagai ideologis dan falsafah negara memiliki
fungsi yang batasanbatasan minimalnya tidak boleh ditundukkan oleh agama-agama
dan kepercayaan yang ada (Nur Khalik Ridwan, 2010).
Konsepsi
Pancasila dari guru bangsa tersebut sering kali belum mewujud dalam kehidupan
kebangsaan. Makna Pancasila masih saja sempit dan masih saja terbatas pada
sila-sila tanpa pemaknaan yang memadai. Karena itu tidak mengherankan jika,
sampai hari ini, Pancasila kurang mampu diwujudkan dan dipahami. Ada anak
bangsa yang bahkan tidak lagi mengetahui nilai-nilai Pancasila. Beberapa survei
yang dilakukan akhir-akhir ini menunjukkan hasil yang cukup mengejutkan karena
banyak pelajar dan mahasiswa yang tidak mengetahui sila-sila Pancasila.
Jika
pelajar dan mahasiswa sebagai peserta didik saja ada yang tidak mengetahui
sila-sila Pancasila, bagaimana halnya dengan masyarakat umum? Di sisi lain,
berbagai fenomena sosial kekinian membuat kita terpana dan bertanya apakah
memang bangsa dan negara ini telah melupakan nilai-nilai Pancasila?
Revitalisasi
Pancasila
harus menjiwai dan sekaligus diwujudkan dalam produk peraturan
perundang-undangan dan realitas sosial. Revitalisasi Pancasila harus dilakukan
baik melalui proses berpikir maupun bertindak. Pancasila sebagai objek kajian
ilmu pengetahuan harus didorong untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, dan
keyakinan atas nilai-nilai Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara
(Janedjri M Gaffar, 2011).
Dengan
demikian, pemahaman akan Pancasila tidak lagi sekadar menghafal. Namun, lebih
kepada pemaknaan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya. Pancasila
bukanlah ideologi mati. Pasalnya, ia perlu terus dikembangkan agar sesuai
dengan konteks zaman. Pemahaman yang demikian pun dapat menjembatani pemahaman
yang keliru tentang Pancasila.
Oleh
karenanya, perlu upaya nyata semua pihak agar Pancasila tidak diajarkan dalam
hafalan-hafalan butir-butir saja. Namun, juga aspek ke sejarahan yang
memungkinkan semua orang kinkan semua orang tahu bahwa Pancasila merupa kan
konsensus bersama bapak dan ibu bangsa (founding fathers and mothers)
dalam meletakkan dasar negara.
Pertanyaan
yang muncul kemudian ialah mengapa hal tersebut sulit diwujudkan? J Kristiadi
berpendapat, tidak tercapainya tujuan pendidikan Pancasila disebabkan sistem
pengajaran yang keliru. Pendidikan Pancasila berlangsung unilateral, datang dari
negara, dan tidak memungkinkan munculnya perbedaan pen dapat. Sistem itu
menghasilkan warga negara yang tidak cerdas karena pendidikan dilakukan secara
otoriter demi kepentingan penguasa.
Dalam
istilah Moeljarto Tjokrowinoto (1996), fenomena itu disebutnya sebagai ideological
displacement, mengambil Pancasila sebagai sosok ideologi formal, tetapi
menggeser nilai-nilai fundamentalnya. Oleh karena itu, pendidikan Pancasila
harus direvitalisasi dan didesain ulang secara berbobot dan menyenangkan
sehingga tidak dipahami hanya sebagai ideologi atau kumpulan doktrin yang
tertutup (Asep Purnama Bachtiar, 2009). Pendidikan Pancasila dapat diajarkan
sejak dini dengan menanamkan rasa cinta kepada tanah air dan bangsa. Kecintaan
pada bangsa dan negara akan mendorong peserta didik semakin menghargai proses
perjuangan pahlawan bangsa dalam memantapkan keberadaan NKRI.
Pada
tingkat yang lebih tinggi, peserta didik mulai dikenalkan dengan nama
tokoh-tokoh bangsa seperti Soekarno, Hatta, dan Moh Yamin sebagai salah seorang
yang juga merumuskan ideologi Pancasila. Pengenalan tokoh menjadi penting guna
semakin mengakrabkan buah pemikiran dan rekam jejak pahlawan nasional. Dengan
semakin mengenal tokohtokoh bangsa, peserta didik akan semakin mengenal jati
diri bangsanya.
Melalui
pengenalan tokoh bangsa pula, pemuda Indonesia tidak akan mudah mengelu-elukan
(dengan histeria yang berlebihan ketika bertemu) artis-artis luar negeri.
Mereka pun akan bersikap dan atau meneladani kiprah kepahlawanan tokoh bangsa
yang jujur dan sederhana. Sebuah sikap yang kini mulai jarang dimiliki oleh
pejabat Indo nesia saat ini.
Pada
tingkat pendidikan tinggi atau perguruan tinggi, pemahaman Pancasila sudah
selayaknya disampaikan dalam proses pengenalan nilai. Pancasila sebagai
kesatuan langkah berbangsa dan bernegara. Pancasila bukanlah ideologi tertutup
yang miskin makna. Namun, nilai Pancasila perlu untuk diteliti dan dikembangkan
agar semakin banyak perspektif yang muncul guna menyelesaikan persoalan bangsa.
Model
pengajaran seperti itu dapat menepis stigma negatif tentang pendidikan
Pancasila. Selama ini pengajaran pendidikan Pancasila di perguruan tinggi masih
saja dicomot langsung dari pemikiran Soekarno. Inilah yang kemudian dikritik
oleh Daoed Joesoef. Menteri pendidikan dan kebudayaan di era Orde Baru itu
menyatakan materi pendidikan Pancasila sering kali tidak diacuhkan oleh
mahasiswa. Pancasila kalah bersaing dengan ideologi-ideologi besar lainnya
seperti marxis me, sosialisme, kapitalisme, ataupun leninisme.
Maka
dari itu diperlukan pendidik atau dosen dengan cakrawala yang luas dan dengan
bacaan yang komprehensif mengenai Pancasila. Melalui modal itu, mahasiswa tidak
lagi menganggap enteng ideologi ini. Ideologi Pancasila layak disandingkan
dengan ideologi besar lainnya yang sudah tergolong `mapan'.
Pada
akhirnya, di tengah semakin tingginya intensitas konflik suku agama, ras dan
antargolongan (SARA) di pelbagai daerah, seperti di Sampang, Madura, Jawa
Timur, Timika, Papua, sengketa lahan di Lampung, Medan, Sumatra Utara, dan
baru-baru ini pembakaran sebuah kampung di Bima, Nusa Tenggara Barat; tawuran
antarpelajar dan mahasiswa yang semakin menjadi; korupsi yang semakin akut, dan
kendurnya sikap kebangsaan (berbangsa dan bernegara) yang mengarah ke rusaknya
tatanan berbangsa dan bernegara--kalau tidak mau disebut bubarnya
negara--pendidikan Pancasila tampaknya perlu untuk diajarkan kembali.
Pendidikan Pancasila bukanlah pelajaran yang usang. Ia akan senantiasa hidup di
tengah keragaman dan pluralitas bangsa Indonesia. Semoga.
Papua Barat dan Pancasila
PAPUA Barat semakin memanas. Warga Papua Barat meminta hak
kemerdekaan. Persoalan tuntutan hak-hak warga Papua Barat untuk memisahkan diri
dari NKRI bak gunung es. Keinginan tersebut sudah mengendap lama dan baru
dirasakan saat ini. Persoalan untuk meminta hak kemerdekaan itu disebabkan
warga Papua Barat sering kali mengalami eksploitasi dan diskriminasi.
Konflik di Papua tak ubahnya seperti neoimperialisme terhadap
warga Papua yang sumber daya alam dan sumber daya manusianya selalu
dieksploitasi tanpa diberi imbalan dan kesejahteraan yang merata. Dalam studi
poskolonial, warga Papua merupakan objek yang dijajah pengusaha asing dan
pengusaha dalam negeri sehingga apa yang sejatinya warga Papua miliki hak atas
segala sumber daya alam di Papua justru dimonopoli kelompok tertentu, lebih
khususnya pihak asing. Hal itulah yang, salah satunya, memunculkan keinginan
Papua Barat menuntut kemerdekaan.
Beberapa warga Papua Barat menuntut kemerdekaan. Pertama,
persoalan marginalisasi atas warga Papua sehingga rasa hormat dan martabat
terhadap mereka sangat minim, baik itu dari segi ras dan warna kulit. Annia
Loomba dalam karyanya, Colonialism and Postcolonialism (1998),
mengatakan kasus rasialisme di Papua merupakan konstruksi dari poskolonialisme
yang berusaha menjajah orang-orang Papua melalui wacana bahwa masyarakat Papua
merupakan objek yang terjajah. Padahal, warga Papua Barat sejatinya juga warga
Indonesia yang seharusnya diperhatikan dan diberi perlindungan.
Di sisi lain, upaya diskriminasi terhadap masyarakat Papua
menjadi faktor paling utama sebagai upaya mendiskreditkan mereka sehingga kalau
masyarakat Papua sudah didiskriminasikan bangsanya sendiri atau pihak asing,
berarti dalam konteks studi poskolonial, masyarakat Papua menjadi objek atau
dalam bahasa Jacques Derrida, seolah-olah menjadi bangsa lain.
Kedua, persoalan pembangunan dan pemberdayaan prasarana warga
masyarakat Papua Barat yang tidak merata menimbulkan gejolak kekerasan.
Padahal, kalau kita lihat dari sumber daya alam yang melimpah, tentunya aspek
kesejahteraan mereka baik kesehatan, pendidikan, maupun ekonomi sudah harus
terpenuhi secara merata. Akan tetapi, realitasnya, masih ada masyarakat Papua
yang mengalami keterbelakangan.
Ketiga, persoalan hak asasi manusia sering kali dilanggar
polisi. Baku tembak dan gencatan senjata antarmasyarakat Papua dan polisi
sering terjadi. Bagi masyarakat Papua, itu sesungguhnya juga bagian dari
pelanggaran HAM. Kekerasan fisik dengan senjata sudah seharusnya dihindari.
Pelanggaran HAM kadang sering kali menimpa masyarakat Papua. Padahal,
masyarakat Papua menginginkan kebebasan dan kemerdekaan, dalam artian segala sumber
daya alam harus dimiliki masyarakat Papua, bukan untuk kesejahteraan orang
asing. Hal itulah yang menyebabkan objek-objek masyarakat Papua menjadi
terjajah, meminjam bahasa Homi Bhaba. Bangsa yang menja jah rakyatnya sendiri
dengan mengeruk kekayaan alam untuk kepentingan individu dan kelompok tertentu.
Kembali ke Pancasila
Dalam konteks ini, persoalan masyarakat Papua Barat
sebenarnya dapat diselesaikan dengan kembali ke nilai-nilai luhur Pancasila.
Pancasila merupakan pandangan hidup bangsa Indonesia dan falsafah negara
Indonesia. Dalam upaya merumuskan Pancasila, itu tentunya sudah melalui
perenungan dan refleksi secara akomodatif untuk seluruh kepentingan masyarakat
Indonesia. Pancasila terlahir dari sikap dan kehidupan yang tertindas oleh
kolonialisme untuk mencapai kemerdekaan dan dalam bingkai meraih persatuan dan
kesatuan. Dengan perasaan senasib dan sepenanggungan untuk mengatasi segala
macam persoalan politik, ekonomi, suku, ras, dan agama, lahirlah Pancasila
sebagai wujud untuk menciptakan integrasi dan menjaga stabilitas antarsesama
bangsa Indonesia.
Karena itu, kehadiran Pancasila memiliki makna yang berarti
(meaningful) bagi warga negara Indonesia. Pancasila juga merupakan
petunjuk dalam berperilaku bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila
ialah kepribadian bangsa Indonesia. Pancasila mampu meresapi kehidupan setiap
anggota masyarakat Indonesia, mendasari komunikasi antar sesama warga negara
Indonesia, dan menjadi pedoman hubungan antarmasyarakat sebagai keseluruhan
dengan tiap-tiap anggota.
Sila kedua, `Kemanusiaan yang adil dan beradab’, menekankan
setiap warga negara Indonesia harus selalu menghargai harkat dan martabat orang
lain, tidak boleh berbuat tercela, menghina, atau bahkan melecehkan. Harkat dan
martabat manusia harus dijunjung secara adil dan beradab.
Drijarkara mengatakan, “Ada bersama.“ Artinya,
`berada-bersama-dengan-sesama’, mempunyai prinsip fundamental yaitu cinta
kasih. Jika manusia taat pada prinsip itu, hidup bersama merupakan persaudaraan
dan rasa perikemanusiaan, yang menjunjung tinggi sesama manusia, menghormati
setiap manusia, segala manusia.
Sila ketiga, `Persatuan Indonesia’, berupaya menyatukan di
tengah-tengah konflik dan ketercerai-beraian di antara kelompok yang lain.
Berupaya menyatukan perbedaan yang ada, baik itu perbedaan agama, ideologi,
ras, maupun budaya. Perbedaan ras, suku, agama, dan budaya harus dijadikan alat
pemersatu bangsa dan cara kita dalam menjaga keharmonisan antarwarga negara.
Upaya merajut rasa kebangsaan dan cara mengatasi perbedaan ras,
suku, atau bahkan menyelesaikan konflik sosialpolitik dapat dipererat kembali
dengan mengimplementasikan sila ketiga Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Dengan begitu, konflik sosial-politik yang muncul di masyarakat
Indonesia dapat diatasi dengan menggunakan pemahaman atas sila ketiga, yakni
mengedepankan rasa kebangsaan bersama untuk persatuan dan kesatuan di antara
warga negara Indonesia.
Sila kelima, `Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia’, berupaya memenuhi kebutuhan rakyat Indonesia dalam berbagai bidang
kehidupan. Pengarusutamaan pada prinsip keadilan yang berpihak pada seluruh
kepentingan bangsa Indonesia. Mengedepankan suasana kekeluargaan dan
kegotongroyongan. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban. Menghormati hakhak
orang lain.
Perikemanusiaan ialah konsep umum universal, yang belum
menunjuk ke suatu bidang khusus kehidupan. Dalam perkembangan hidup manusia
yang membuat diferensiasi, lapangan khusus kehidupan sebagai pelaksanaan
perikemanusiaan yakni keadilan sosial (sila kelima). Kita berharap persoalan
Papua untuk meminta hak kemerdekaan dapat diselesaikan melalui cara dialogis
berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Semoga.
Sekali
Pancasila, Tetap Pancasila
Tanggal 1 Juni ini Pancasila genap
berusia 61 tahun. Tahun 1945 Bung Karno mengusulkan dasar negara itu di depan
sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau
BPUPKI.
Pancasila disahkan masuk Pembukaan (Preambule) UUD 1945 pada sidang PPKI, 18 Agustus 1945. Tetapi, "perlakuan" terhadap Pancasila sebagai falsafah negara melalui proses panjang. Pada awal revolusi Bung Karno harus menyosialisasikan Pancasila ke seluruh pelosok, memakai salam lima jari tangan, simbol kelima sila Pancasila. Pancasila akhirnya diterima rakyat.
Di era Orde Baru (Orba) Pancasila sempat menjadi polemik, terkait klaim, yang pertama kali mengusulkan adalah Muhammad Yamin, bukan Bung Karno. Dengan ditemukannya naskah otentik Notulen Sidang BPUPKI di Arsip Nasional dan Surat Wasiat Bung Hatta kepada Guntur Sukarno, masalah itu tak lagi mengemuka. Pancasila juga mendapat citra negatif melalui program penataran Pedoman, Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila (P4). Masyarakat tidak diberi ruang untuk mengemukakan pendapat. Pancasila menjadi alat politik untuk mempertahankan kekuasaan.
Dalam peringatan HUT Ke-61
Pancasila, kita diliputi keprihatinan karena hampir seluruh sila Pancasila
belum terwujud. Lihat saja, banyak warga mengalami kesulitan menjalankan ibadah
menurut keyakinannya. Sila kerakyatan atau demokrasi belum dihayati, terbukti
banyak kekerasan dan kerusuhan.
Bagaimana menghadapinya? Cerahkan kesadaran
spiritual (spiritual awareness). Menurut Kamus Filsafat, spiritual mengacu ke
nilai-nilai manusiawi nonmaterial, seperti keindahan, kebaikan, kebenaran,
kejujuran, kesucian, dan cinta.
Selama manusia belum mau mengembara di alam spiritual, selama itu pula segala yang diimpikan tidak akan terwujud. Kalaupun terwujud, sifatnya sementara, semu, tanpa makna. Konflik senantiasa subur.
Kejayaan spiritual
Dalam sejarahnya, bangsa Indonesia pernah mengalami masa kejayaan spiritual, Contohnya pada masa Sriwijaya dan Mataram purba, dengan lahirnya mahakarya Borobudur. Juga dengan peradaban India, Tiongkok kuno, dan Islam di Timur Tengah. Ini bukti, spiritual mempunyai daya mahadahsyat untuk mencapai kemajuan.
Sepanjang sejarah manusia, pencarian spiritual terus berkembang. Di sana-sini pengetahuan mengenai spiritual makin maju dan luas. Sayang, mereka yang tertarik hal spiritual hingga kini masih minoritas, bahkan dalam perkembangannya spiritual mengalami pembelokan, mengakibatkan banyak orang merasa risi pada hal-hal spiritual. Spiritual dihubungkan dengan hal yang tidak realistis, paranormal, mistik, klenik, atau perdukunan dengan persepsi keliru.
Pada usia ke-61 Pancasila yang harus dipertanyakan adalah masihkah kita berpegang pada Pancasila sebagaimana disepakati founding fathers? Apakah kita perlu mencari dasar negara lain, dengan alasan Pancasila tidak memberi perubahan hakiki terhadap kehidupan dan kesejahteraan bangsa Indonesia? Rasanya tidak pantas negara menyandang nama Pancasila, sementara warganya saling membunuh.
Sebagai paham universal, Pancasila sarat dengan perspektif spiritual dan mengacu pada pluralisme, kemajemukan, atau heterogenitas. NKRI merupakan wadah rakyat yang plural. Maka, mewacanakan spiritual (Ketuhanan Yang Maha Esa) yang paling tepat hanya Pancasila.
Ibarat masih didominasi "kuasa gelap", tidak ada jalan lain kita harus menuju "kuasa terang". Jalan ke situ adalah jalan Pancasila dengan cara spiritual (The Pancasila way by a spiritual way). Spiritualisasi Pancasila bertujuan melakukan pembentukan jiwa. Dengan cara itu, kita dapat mencapai cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, yaitu Indonesia yang jaya sentosa, dunia damai penuh kasih, gotong royong, dan persaudaraan.
Selama manusia belum mau mengembara di alam spiritual, selama itu pula segala yang diimpikan tidak akan terwujud. Kalaupun terwujud, sifatnya sementara, semu, tanpa makna. Konflik senantiasa subur.
Kejayaan spiritual
Dalam sejarahnya, bangsa Indonesia pernah mengalami masa kejayaan spiritual, Contohnya pada masa Sriwijaya dan Mataram purba, dengan lahirnya mahakarya Borobudur. Juga dengan peradaban India, Tiongkok kuno, dan Islam di Timur Tengah. Ini bukti, spiritual mempunyai daya mahadahsyat untuk mencapai kemajuan.
Sepanjang sejarah manusia, pencarian spiritual terus berkembang. Di sana-sini pengetahuan mengenai spiritual makin maju dan luas. Sayang, mereka yang tertarik hal spiritual hingga kini masih minoritas, bahkan dalam perkembangannya spiritual mengalami pembelokan, mengakibatkan banyak orang merasa risi pada hal-hal spiritual. Spiritual dihubungkan dengan hal yang tidak realistis, paranormal, mistik, klenik, atau perdukunan dengan persepsi keliru.
Pada usia ke-61 Pancasila yang harus dipertanyakan adalah masihkah kita berpegang pada Pancasila sebagaimana disepakati founding fathers? Apakah kita perlu mencari dasar negara lain, dengan alasan Pancasila tidak memberi perubahan hakiki terhadap kehidupan dan kesejahteraan bangsa Indonesia? Rasanya tidak pantas negara menyandang nama Pancasila, sementara warganya saling membunuh.
Sebagai paham universal, Pancasila sarat dengan perspektif spiritual dan mengacu pada pluralisme, kemajemukan, atau heterogenitas. NKRI merupakan wadah rakyat yang plural. Maka, mewacanakan spiritual (Ketuhanan Yang Maha Esa) yang paling tepat hanya Pancasila.
Ibarat masih didominasi "kuasa gelap", tidak ada jalan lain kita harus menuju "kuasa terang". Jalan ke situ adalah jalan Pancasila dengan cara spiritual (The Pancasila way by a spiritual way). Spiritualisasi Pancasila bertujuan melakukan pembentukan jiwa. Dengan cara itu, kita dapat mencapai cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, yaitu Indonesia yang jaya sentosa, dunia damai penuh kasih, gotong royong, dan persaudaraan.
Bung Karno, dari Catatan Seorang Perawat
Bezoek.
Istilah Belanda yang masih sering dipakai di Indonesia ini biasa diartikan
sebagai menjenguk orang sakit yang dirawat di rumah sakit atau orang yang ada
dalam rumah tahanan.
Motivasi menjenguk orang sakit bermacam-macam. Sebagai pernyataan simpati, sebagai rasa setia kawan, atau kalau yang sakit adalah atasan mungkin untuk mengisi daftar hadir, â€unjuk mukaâ€. Kalau yang dirawat itu orang terkenal, seperti mantan presiden Soeharto, orang berduyun-duyun menjenguk, meskipun mungkin tidak mengenal si sakit secara pribadi. Kalau sampai diliput media massa, ada kesempatan untuk numpang tayang.
Tetapi tidak semua orang terkenal yang sakit akan banyak yang menjenguk atau diliput media massa. Nama Bung Karno beredar di seluruh dunia—sampai imam di Masjidil Aqsha juga mengenalnya—tetapi tidak ada yang menjenguknya sewaktu ia sakit dan ditempatkan di Wisma Yaso, sebuah gedung dengan taman luas di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, yang kini bernama Museum Satria Mandala, tempat Dewi Sukarno, istri Bung Karno, pernah tinggal. Hanya istri dan anak-anaknya yang menjenguk.
Di mana gerangan para mantan menteri, para jenderal, dan pejabat tinggi ketika itu? Tokoh yang semula bagaikan lampu terang yang menarik serangga, kini bagaikan lampu yang sudah padam. Ditinggalkan oleh semua serangga yang semula berlomba mengerumuninya. Bung Karno dibiarkan kesepian.
Tengok, misalnya, catatan dari perawat yang bertugas mendampinginya, pada suatu hari yang penting bagi Bung Karno, yaitu tanggal 6 Juni 1969 dan 6 juni 1970, hari ulang tahunnya:
LAPORAN PAGI TANGGAL 6/6-69.
07.15 Beliau bangun terus b.a.b 1 x. Selesai b.a.b beliau duduk di sofa minum kopi dan obat: duvadilan 1 tablet, metatone 1 sendok makan, dan royal jelly 1 ampul.
9.50 Beliau sarapan pagi berupa roti bakar, telor rebus 1 butir, 1 buah pisang.
10.00 Ibu Hartini datang.
12.45 Guntur, Taufan dan Bayu datang.
13.30 Beliau makan siang bersama Ibu Hartini, Guntur, Taufan, Bayu dan 2 perawat
14.25 Ibu Hartini, Taufan dan Bayu pulang.
15.00 Guntur pulang.
15.30 Beliau tidur di sofa.
Sampai malam, tidak ada seorang pun dokter yang datang hari itu. Memang selama dalam tahanan dan perawatan itu, tidak pula tampak kesibukan tim dokter kepresidenan bagi Bung Karno. Jangankan pemeriksaan dan tindakan dengan menggunakan alat canggih seperti hemodialisis, dokter spesialis pun tidak pernah ada yang memeriksanya. Meskipun diketahui tekanan darahnya meninggi, tidak tercatat ada obat yang diberikan untuk menurunkan tekanan darah itu.
Dan pada hari ulang tahun itu, tidak ada teman atau sahabat, tidak pula kartu ucapan selamat. Begitu pula ulang tahun berikutnya, tanggal 6 Juni 1970, Bung Karno memperingatinya dalam sepi:
LAPORAN PAGI TANGAL 6/6-70
8.20 Penderita bangun terus ke sofa minum kopi dan obat duvadilan, royal jelly dan metatone.
8.35 Lettu Sukotjo datang.
8.50 Dr Suroyo datang.
9.00 Lettu Sukotjo kembali.
9.15 Dr. Suroyo memeriksa penderita, tekanan darah 170/125, nadi 80. Diberikan suntikan Durabolin, Vit B1, Vit B12.
9.30 Dr. Suroyo pulang.
9.45 Ibu Hartini datang.
11.15 Sukmawati datang bersama suami.
11.25 Rachmawati dan Guruh datang.
12.25 Rachmawati pulang.
12.50 Guntur bersama istri dan putranya datang.
18.00 Ibu Hartini dan putra-putra pulang.
Kalau pada hari ulang tahun saja begitu kesepian, apa pula pada hari lain. Hari-hari terakhir Bung Karno memang dilalui seolah-olah hampir semua orang sudah lupa kepadanya. Tidak ada hiruk-pikuk seperti sekarang ini, tidak pula ada ulama yang mendoakan kesembuhannya. Yang rajin berkunjung selama Bung Karno sakit dan ditahan di Wisma Yaso itu hanyalah Hartini (istri kedua), Guntur, Rachmawati (keduanya anak dari Fatmawati, istri pertama), Taufan dan Bayu (dua anak dari Hartini). Sukmawati, putri dari Fatmawati, ada dalam catatan hadir beberapa kali.
Di antara putra-putrinya, hanya Megawati yang tidak tercatat pernah berkunjung—kecuali ketika Bung Karno sudah dibawa ke RSPAD dalam keadaan kritis. Entah Megawati pernah bezoek tetapi tidak tercatat atau memang tidak pernah sama sekali menengok bapaknya yang sedang sakit. Bahkan pada hari ulang tahunnya.
Padahal bezoek bagi orang sakit merupakan bagian dari social support yang akan membantu si sakit melawan kesepian sehingga dapat membangkitkan semangatnya. Dukungan sosial kepada seorang yang sedang sakit sudah menjadi tradisi berbagai suku di Indonesia sejak zaman dulu. Di kalangan suku Dayak Iban, dukun mengajak seluruh keluarga untuk bersama-sama mengusir roh jahat yang hendak membawa nyawa si sakit ke hutan. Secara psikologis si sakit merasa bahwa ia ditopang keluarganya.
Sekarang, ketika Soeharto sakit, ada social support yang amat cukup. Tetapi tidak demikian halnya ketika Bung Karno, sang Proklamator, sakit. Untuk meminjam istilah Ismail Saleh, Menteri Kehakiman di bawah Presiden Soeharto, sewaktu ia mem-bezoek bekas pemimpin itu di rumah sakit, dalam hal memperlakukan hari-hari terakhir Bung Karno, dapatkah dikatakan kita ini bangsa yang biadab, yang tidak mikul dhuwur mendhem jero?.
Motivasi menjenguk orang sakit bermacam-macam. Sebagai pernyataan simpati, sebagai rasa setia kawan, atau kalau yang sakit adalah atasan mungkin untuk mengisi daftar hadir, â€unjuk mukaâ€. Kalau yang dirawat itu orang terkenal, seperti mantan presiden Soeharto, orang berduyun-duyun menjenguk, meskipun mungkin tidak mengenal si sakit secara pribadi. Kalau sampai diliput media massa, ada kesempatan untuk numpang tayang.
Tetapi tidak semua orang terkenal yang sakit akan banyak yang menjenguk atau diliput media massa. Nama Bung Karno beredar di seluruh dunia—sampai imam di Masjidil Aqsha juga mengenalnya—tetapi tidak ada yang menjenguknya sewaktu ia sakit dan ditempatkan di Wisma Yaso, sebuah gedung dengan taman luas di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, yang kini bernama Museum Satria Mandala, tempat Dewi Sukarno, istri Bung Karno, pernah tinggal. Hanya istri dan anak-anaknya yang menjenguk.
Di mana gerangan para mantan menteri, para jenderal, dan pejabat tinggi ketika itu? Tokoh yang semula bagaikan lampu terang yang menarik serangga, kini bagaikan lampu yang sudah padam. Ditinggalkan oleh semua serangga yang semula berlomba mengerumuninya. Bung Karno dibiarkan kesepian.
Tengok, misalnya, catatan dari perawat yang bertugas mendampinginya, pada suatu hari yang penting bagi Bung Karno, yaitu tanggal 6 Juni 1969 dan 6 juni 1970, hari ulang tahunnya:
LAPORAN PAGI TANGGAL 6/6-69.
07.15 Beliau bangun terus b.a.b 1 x. Selesai b.a.b beliau duduk di sofa minum kopi dan obat: duvadilan 1 tablet, metatone 1 sendok makan, dan royal jelly 1 ampul.
9.50 Beliau sarapan pagi berupa roti bakar, telor rebus 1 butir, 1 buah pisang.
10.00 Ibu Hartini datang.
12.45 Guntur, Taufan dan Bayu datang.
13.30 Beliau makan siang bersama Ibu Hartini, Guntur, Taufan, Bayu dan 2 perawat
14.25 Ibu Hartini, Taufan dan Bayu pulang.
15.00 Guntur pulang.
15.30 Beliau tidur di sofa.
Sampai malam, tidak ada seorang pun dokter yang datang hari itu. Memang selama dalam tahanan dan perawatan itu, tidak pula tampak kesibukan tim dokter kepresidenan bagi Bung Karno. Jangankan pemeriksaan dan tindakan dengan menggunakan alat canggih seperti hemodialisis, dokter spesialis pun tidak pernah ada yang memeriksanya. Meskipun diketahui tekanan darahnya meninggi, tidak tercatat ada obat yang diberikan untuk menurunkan tekanan darah itu.
Dan pada hari ulang tahun itu, tidak ada teman atau sahabat, tidak pula kartu ucapan selamat. Begitu pula ulang tahun berikutnya, tanggal 6 Juni 1970, Bung Karno memperingatinya dalam sepi:
LAPORAN PAGI TANGAL 6/6-70
8.20 Penderita bangun terus ke sofa minum kopi dan obat duvadilan, royal jelly dan metatone.
8.35 Lettu Sukotjo datang.
8.50 Dr Suroyo datang.
9.00 Lettu Sukotjo kembali.
9.15 Dr. Suroyo memeriksa penderita, tekanan darah 170/125, nadi 80. Diberikan suntikan Durabolin, Vit B1, Vit B12.
9.30 Dr. Suroyo pulang.
9.45 Ibu Hartini datang.
11.15 Sukmawati datang bersama suami.
11.25 Rachmawati dan Guruh datang.
12.25 Rachmawati pulang.
12.50 Guntur bersama istri dan putranya datang.
18.00 Ibu Hartini dan putra-putra pulang.
Kalau pada hari ulang tahun saja begitu kesepian, apa pula pada hari lain. Hari-hari terakhir Bung Karno memang dilalui seolah-olah hampir semua orang sudah lupa kepadanya. Tidak ada hiruk-pikuk seperti sekarang ini, tidak pula ada ulama yang mendoakan kesembuhannya. Yang rajin berkunjung selama Bung Karno sakit dan ditahan di Wisma Yaso itu hanyalah Hartini (istri kedua), Guntur, Rachmawati (keduanya anak dari Fatmawati, istri pertama), Taufan dan Bayu (dua anak dari Hartini). Sukmawati, putri dari Fatmawati, ada dalam catatan hadir beberapa kali.
Di antara putra-putrinya, hanya Megawati yang tidak tercatat pernah berkunjung—kecuali ketika Bung Karno sudah dibawa ke RSPAD dalam keadaan kritis. Entah Megawati pernah bezoek tetapi tidak tercatat atau memang tidak pernah sama sekali menengok bapaknya yang sedang sakit. Bahkan pada hari ulang tahunnya.
Padahal bezoek bagi orang sakit merupakan bagian dari social support yang akan membantu si sakit melawan kesepian sehingga dapat membangkitkan semangatnya. Dukungan sosial kepada seorang yang sedang sakit sudah menjadi tradisi berbagai suku di Indonesia sejak zaman dulu. Di kalangan suku Dayak Iban, dukun mengajak seluruh keluarga untuk bersama-sama mengusir roh jahat yang hendak membawa nyawa si sakit ke hutan. Secara psikologis si sakit merasa bahwa ia ditopang keluarganya.
Sekarang, ketika Soeharto sakit, ada social support yang amat cukup. Tetapi tidak demikian halnya ketika Bung Karno, sang Proklamator, sakit. Untuk meminjam istilah Ismail Saleh, Menteri Kehakiman di bawah Presiden Soeharto, sewaktu ia mem-bezoek bekas pemimpin itu di rumah sakit, dalam hal memperlakukan hari-hari terakhir Bung Karno, dapatkah dikatakan kita ini bangsa yang biadab, yang tidak mikul dhuwur mendhem jero?.
Gus Dur
Ketika Mahatma Gandhi wafat, ia-yang
selama hidupnya antikekerasan dimakamkan dengan upacara militer. Ironis,
mungkin juga menyedihkan: bahkan seorang Gandhi tak bisa mengelak dari protokol
kebesaran yang tak dikehendakinya.
Seorang tokoh besar yang wafat
meninggalkan bekas yang panjang, seperti gajah meninggalkan gading.
Kadang-kadang ia hadir sebagai ikon: sebuah tanda yang memberikan makna yang
menggugah hati karena melebihi kehendak kita sendiri. Kadang-kadang sebagai
simbol: sebuah tanda yang maknanya kita tentukan, tak perlu menggugah hati
lagi, namun berguna untuk tujuan kita yang jelas.
Sebuah ikon adalah sebuah puisi. Sebuah
simbol: alat. Keduanya saling menyilang tak henti-hentinya.
“Pahlawan mati hanya satu kali,”
kata orang hukuman dalam lakon Hanya Satu Kali, yang disebutkan sebagai
terje-mahan sebuah karya John Galsworthy tapi yang tak pernah saya ketahui yang
mana.
Gus Dur bisa disebut seorang
pahlawan: ia tak akan meninggalkan kita lagi, begitu jenazahnya dikuburkan.
Terutama ketika yang hidup tak akan meninggalkan apa yang baik yang
dilakukannya.
Tapi dalam arti lain pahlawan mati
hanya satu kali karena ia tak lagi bagian dari kefanaan. Tak lagi bagian dari
kedaifan. Tak lagi bagian dari pergulatan untuk menjadi baik atau bebas yang
membuat sejarah manusia berarti.
Hanya dalam pergulatan itu, Gus Dur
tampak sebagai yang tak sempurna, tapi melakukan tindakan yang sesederhana dan
semenakjubkan manusia: dari situasinya yang terbatas ia menjangkau mereka yang
bukan kaumnya, melintasi gerbang dan pagar, jadi tak berhingga, untuk menjabat
mere-ka yang di luar itu. Terutama mereka yang disingkirkan, dicurigai, atau
bahkan dianiaya: bekas-bekas PKI, minoritas Tionghoa, umat Ahmadiyah. Kita tahu
ia melakukan itu dengan nekat tapi prinsipiil-keberanian yang hampir tak
terdapat pada orang lain.
“Saya dan Romo Mangun berbeda agama,
tapi satu iman,” kata Gus Dur suatu kali.
Iman bagi Gus Dur bukanlah sebuah
benteng: sebuah konstruksi di sebuah wilayah. Benteng kukuh dan tertutup,
bahkan dilengkapi senjata, untuk menangkis apa saja yang lain yang diwaspadai.
Bangunan itu berdiri karena sebuah asumsi, juga kecemasan: akan ada musuh yang
menyerbu atau pecundang yang menyusup.
Iman bagi Gus Dur bukanlah sebuah
benteng, melainkan sebuah obor. Sang mukmin membawanya dalam perjalan-an
menjelajah, menerangi lekuk yang gelap dan tak dikenal. Iman sebagai suluh
adalah iman seorang yang tak takut menemui yang berbeda dan tak terduga.
Terkadang nyala obor itu redup atau bergoyang, tapi ia tak pernah padam. Bila
padam, ia menandai perjalanan yang telah berhenti.
Saya membayangkan Gus Dur tak pernah
berhenti.
Ada sebuah nyanyian Fairouz yang
digemari Gus Dur, dikutipkan oleh Mohammad Guntur-Romly, bersama liriknya.
Petilannya, saya coba terjemahkan:
Pernahkah kau terima hutan seperti
aku terima hutan, sebagai rumah tinggal, bukan istana
Pernahkah kau buat rumput jadi
ranjang dan berselimutkan luasnya ruang,
merasa daif di hadapan yang kelak,
dan lupa akan waktu silam yang hilang
Sering saya berpikir kenapa Gus Dur
dengan tanpa ragu tak ikut mengutuk novel Salman Rushdie, The Satanic Verses.
Saya duga karena ia menemukan dalam
novel itu empat unsur yang tak terpisahkan: kenakalan, kecerdasan, provokasi,
dan humor.
Gus Dur tak keberatan dengan keempat
unsur itu karena ia yakin Tuhan tak sama dengan mereka yang terusik oleh
kenakalan dan humor. Saya kira Tuhan bagi Gus Dur bukanlah Tuhan yang terbayang
dalam Perjanjian Lama, Tuhan yang menggelisahkan puisi Amir Hamzah: Tuhan yang
“ganas” dan “cemburu”.
Yang ganas dan cemburu akan menampik
kenakalan dan humor. Tuhan yang antihumor itulah yang diyakini Jorge, kepala
biara dalam novel Umberto Eco, Il nome della Rosa. Di biara Italia abad ke-14
itu beberapa rahib ditemukan tewas. Kemudian diketahui bahwa mereka telah
terkena racun ketika membuka sebuah buku terlarang di dalam perpustakaan;
sebuah buku tentang tertawa.
Satu paragraf yang tak terlupakan:
“Mungkin misi mereka yang mencintai umat manusia adalah untuk membuat orang
menertawakan kebenaran, untuk membuat kebenaran tertawa, sebab satu-satunya
kebenaran terletak dalam belajar membebaskan diri kita dari kegandrungan
gila-gilaan kepada kebenaran”.
Saya lebih bangga punya seorang Gus
Dur yang bukan pre-siden, ketimbang seorang Gus Dur di atas takhta.
Betapapun keinginannya, ia tak
pernah cocok di sana. Sebab ia bagian yang wajar dari sesuatu semacam anarkisme
yang jinak dan jenaka.
Seorang intelektual publik terkadang
yakin bahwa memasuki kehidupan politik (dan memperoleh kekuasaan) itu perlu.
Yang sering dilupakan ialah bahwa “yang perlu” belum tentu “yang niscaya”, dan
bahwa politik, sebagai panggilan, sebenarnya sebuah panggilan yang muram,
sedih.
Dalam kesedihan itu kita seharusnya
bertugas.
Saat Kritis, Masih Sempat Ucapkan
Selamat Natal
Tepat Setahun, pada 30 Desember 2009, Presiden ke-4 RI KH
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) wafat. Namun, kenangan mendalam tedalam sosok yang
dikenal controversial semasa hidupnya itu sulit dihapus. Terutama, di mata
keluarga dan sahabat-sahabat tedekatnya.
Putri bungsuGus
Dur Inayah Wulan dari Wahid, termasuk salah seorang yang banyak mendampingi
ayahandanya saat-saat akhir menjelang wafat. Dia merekam cukup banyak kejadian
dan sisi-sisi lain hingga tiba saat Gus Dur menghembuskan napas terakhir di RS
Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta.
Masa-masa terakhir itu adalah saat Gur Dur untuk kali kesekian terpaksa
kembali dirawat di rumah sakit sejak 24 Desember 2009 akibat komplikasi
sejumlah penyakit. “Meski sedih, itu adalah saat-saat paling mengensankan bagi
saya sebagai seorang anak,” kata Inayah saat peringatan Haul Gus Dur I di
kediaman Ciganjur, Jakarta Selatan, Kamis (30/12).
Menurut dia, banyak kesan mendalam
hingga pelajaran penting yang di dapatnya sekitar seminngu menemani sang ayah
di rumah sakit. Di antaranya, saat teman-teman Gus Dur dari umat kristiani
datang menjenguk.
Saat itu, bertepatan 25 Desember
2009, kondisi kesehatan Gus Dur sebenarnya sudah memprihatinkan. ‘Tapi ya itu,
Bapak ternyata masih ingat saja untuk mengucapkan’Selamat Natal’ bagi
teman-temannya itu,” papar Inayah.
Kesan lain yang masih diingatnya
adalah kebesaran hati ayahandanya. Dia mengisahkan, saat-saat terakhir
tersebut, ada seseorang yang dianggap oleh keluarga banyak “menyakiti” Gus Dur
tiba-tiba datang menjenguk ke rumah sakit.
Mengetahui hal itu, keluarga
berusaha menolak orang tersebut bertemu Gus Dur.”Kami sekeluarga menolak,bahkan
sampai perlu berkali-kali menegaskan tidak boleh masuk ruangan,”kata Inayah.
Gus Dur yang kebetulan saat itu
sedang terjaga mengetahui ada orang yang terus mendesak untuk bertemu
dengannya. Setelah bertanya dan akhirnya mengetahui orang di luar ruangan yang
ngotot minta masuk tersebut, Gus Dur tenyata mempersilahkan. “itu salah satu
luar biasanya Bapak, gampang sekali memaafkan orang Tapi, anehnya orang itu
justru seperti tanpa dosa, padahal selama ini menganggap Bapak seperti tidak
ada, bahkan disakiti,”beber Inayah.
Beberapa tokoh yang hadir, antara
lain, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud M.D., Wakil Ketua MPR Lukman Hakim
Saifuddin, mantan Ketua DPR Akbar Tandjung mantan Menko Perekonomian Rizal
Ramli, tokoh kelirumologi Jaya Suprana, dan banyak lainnya.
Beberapa di antara mereka diminta
untuk ikut memberikan sambutan dan kesan-kesan terhadap sosok Gus Dur. Di
antaranya, yang diberi kesempatan adalah Mahfud. “Tiba-tiba mala mini saya
seperti jadi kiayi lagi karena diminta memberikan taushiyah, “kata Mahfud,
mengawali sambutannya.
Di antara yang dikisahkan kembali
oleh mantan menteri pertahanan itu adalah dialognya bersama Gus Dur saat muncul
tudingan keterlibatan mantan ketua umum PB NU tersebut dalam skandal Bulog.
Waktu itu, menjelang lengsernya Gus Dur dari kursi Kepresidenan.
Mahfud menyatakan sangat heran
dengan adanya tudingan keterlibatan Gus Dur dalam skandal yang dianggap
merugikan uang Negara Rp. 3 miliar tersebut bertaanya, mengapa sampai muncul
tudingan itu.
Padahal menurut dia, kalau seorang
presiden butuh uang, ratusan miliar pun ada. “Dan, itu sah untuk kebutuhan
darurat. Tapi, mengapa hanya 3 miliar Gur?.” Kata Mahfud, mengulang dialognya
dengan Gus Dur, saat itu.
Mendapatkan pertanyaan seperti itu,
Gus Dur hanya menegaskan bahwa dirinya tidak perlu uang. Dia hanya ingin serius
mengurusi Negara. “Saya ini tidak butuh uang,”tegas Gus Dur, ditirukan Mahfud.
Karena itu, lanjut dia, peringatan
haul Gus Dur sangat penting untuk mengenang jasa-jasa dan perjuangan cucu
pendiri NU KH Hasyim Asyari tersebut Misalnya, mengapa dan bagaimana caranya
seseorang menjadi besar seperti Gus Dur. “Kita semua perlu menjadikan sebagai
pelajaran, lantas melanjutkan perjuangan belia,”imbuh Mahfud.
Haul atau peringatan meninggalnya
Gus Dur sebenarnya tidak dilaksanakan di Ciganjur saja. Sebelumnya, di Ponpes
Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, Dan Surabaya dilakukan peringatan yang sama. Di
beberapa tempat lainnya, rangkaian peringatan serupa dilakukan. Peringatan haul
dengan seri diskusi dan seminar di beberapa tempat juga dihelat.
Menapaki Jejak Soekarno di St Petersburg
Presiden Soekarno terkenal di
Leningrad, atau sekarang St Petersberg, Rusia karena jasanya. Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono mengaku terharu dan bangga. Mantan Presiden Megawati
Soekarnoputri bahkan sampai menangis mendengar kisah dan catatan jasa ayahnya yang
dituturkan Imam Central Mosque St Petersburg Zhapar N Panchaev.
Usai Presiden Yudhoyono shalat tahiyattul masjid (shalat sunnah) di masjid terbesar yang posisinya paling utara di dunia itu, Kamis (30/11), Panchaev bertutur tentang sejarah masjid mulai pembangunan, masa-masa sulit, dan pemugarannya sambil duduk bersila.
"Tahun 1956, Presiden Soekarno datang ke Leningrad. Karena kunjungannya ke masjid ini yang dijadikan gudang sejak perang dunia kedua, masjid lantas dikembalikan ke komunitas muslim di sini. Tidak lama, hanya 10 hari setelah kunjungan Presiden Soekarno," ujar Panchaev bangga.
Menurut Panchaev, kunjungan Soekarno ke tanah kelahiran Lenin sebetulnya tidak dijadwalkan mengunjungi masjid yang dikenal juga dengan masjid biru karena ornamen keramiknya. Saat berkeliling kota, di atas jembatan, Soekarno melihat bangunan masjid dari kejauhan. Soekarno lantas menuju masjid yang telah menjadi gudang untuk shalat. "Sejumlah jadwal kunjungan Presiden Soekarno yang telah disusun ke Leningrad dibatalkan," ujar Panchaev.
Dari masjid, Soekarno kemudian bertemu pemimpin Rusia. Saat ditanya komentarnya tentang Leningrad, Soekarno justru bercerita tentang kondisi Central Mosque yang dikunjunginya. Cerita itu, menggugah pemimpin Rusia untuk memerintahkan pembersihan masjid. "Presiden Megawati saat mendengar cerita ini saat ke sini tahun 2003 menangis. Lalu, Presiden megawati berjanji memberi ukiran kayu Surah Al-Fatihah yang saya tempel itu," tutur Panchaev. Ukiran kayu Surah Al-Fatihah berukuran 220x105 diserahkan kepada Panchaev pada 3 Juni 2005. "Saya yang menyerahkan ukiran kayu itu," ujar Duta Besar RI untuk Rusia Susanto Pudjomartono yang turut duduk bersila mendengar cerita Panchaev.
Anggota rombongan Presiden Yudhoyono yaitu para menteri, pejabat, gubernur, anggota legislatif, dan para rektor yang duduk bersila mendengar tuturan Panchaev turut tertegun bangga. Masjid Biru mulai dibangun tahun 1910. Ketika dibangun, umat Islam di Rusia berjumlah hanya 8.000 orang. Pembangunan masjid dilakukan setelah dibentuk komite khusus tahun 1906 yang diketuai Ahun Ataulla Bayazitov. Penyumbang terbesar tercatat Said Abdoul Ahad Amir Buharskiy yang membiayai semua pekerja pembangunan masjid.
Setelah ditutup dan dijadikan gudang perang dunia kedua tahun 1942-1956, masjid dipugar besar-besaran tahun 1980. Kepada Yudhoyono, Panchaev menitipkan ucapan terima kasih kepada Presiden Rusia Vladimir Putin karena telah membantu pemugaran. "Akan saya sampaikan ucapan terimakasih itu," janji Yudhoyono kepada Panchaev. Sebelum berpisah, Panchaev mendoakan Indonesia baik rakyat dan pemimpinnya agar mampu mencapai kemajuan, kemakmuran, dan kesejahteraan. Seluruh anggota rombongan serentak menyahut, "Amin". Selepas dari masjid, Presiden dan anggota rombongan melanjutkan untuk menapaki jejak Soekarno, seperti kunjungan Megawati tahun 2003, Presiden Yudhoyono mengunjungi galangan kapal Admiralty Shipyard yang akan memproduksi kapal selam pesanan TNI.
Usai Presiden Yudhoyono shalat tahiyattul masjid (shalat sunnah) di masjid terbesar yang posisinya paling utara di dunia itu, Kamis (30/11), Panchaev bertutur tentang sejarah masjid mulai pembangunan, masa-masa sulit, dan pemugarannya sambil duduk bersila.
"Tahun 1956, Presiden Soekarno datang ke Leningrad. Karena kunjungannya ke masjid ini yang dijadikan gudang sejak perang dunia kedua, masjid lantas dikembalikan ke komunitas muslim di sini. Tidak lama, hanya 10 hari setelah kunjungan Presiden Soekarno," ujar Panchaev bangga.
Menurut Panchaev, kunjungan Soekarno ke tanah kelahiran Lenin sebetulnya tidak dijadwalkan mengunjungi masjid yang dikenal juga dengan masjid biru karena ornamen keramiknya. Saat berkeliling kota, di atas jembatan, Soekarno melihat bangunan masjid dari kejauhan. Soekarno lantas menuju masjid yang telah menjadi gudang untuk shalat. "Sejumlah jadwal kunjungan Presiden Soekarno yang telah disusun ke Leningrad dibatalkan," ujar Panchaev.
Dari masjid, Soekarno kemudian bertemu pemimpin Rusia. Saat ditanya komentarnya tentang Leningrad, Soekarno justru bercerita tentang kondisi Central Mosque yang dikunjunginya. Cerita itu, menggugah pemimpin Rusia untuk memerintahkan pembersihan masjid. "Presiden Megawati saat mendengar cerita ini saat ke sini tahun 2003 menangis. Lalu, Presiden megawati berjanji memberi ukiran kayu Surah Al-Fatihah yang saya tempel itu," tutur Panchaev. Ukiran kayu Surah Al-Fatihah berukuran 220x105 diserahkan kepada Panchaev pada 3 Juni 2005. "Saya yang menyerahkan ukiran kayu itu," ujar Duta Besar RI untuk Rusia Susanto Pudjomartono yang turut duduk bersila mendengar cerita Panchaev.
Anggota rombongan Presiden Yudhoyono yaitu para menteri, pejabat, gubernur, anggota legislatif, dan para rektor yang duduk bersila mendengar tuturan Panchaev turut tertegun bangga. Masjid Biru mulai dibangun tahun 1910. Ketika dibangun, umat Islam di Rusia berjumlah hanya 8.000 orang. Pembangunan masjid dilakukan setelah dibentuk komite khusus tahun 1906 yang diketuai Ahun Ataulla Bayazitov. Penyumbang terbesar tercatat Said Abdoul Ahad Amir Buharskiy yang membiayai semua pekerja pembangunan masjid.
Setelah ditutup dan dijadikan gudang perang dunia kedua tahun 1942-1956, masjid dipugar besar-besaran tahun 1980. Kepada Yudhoyono, Panchaev menitipkan ucapan terima kasih kepada Presiden Rusia Vladimir Putin karena telah membantu pemugaran. "Akan saya sampaikan ucapan terimakasih itu," janji Yudhoyono kepada Panchaev. Sebelum berpisah, Panchaev mendoakan Indonesia baik rakyat dan pemimpinnya agar mampu mencapai kemajuan, kemakmuran, dan kesejahteraan. Seluruh anggota rombongan serentak menyahut, "Amin". Selepas dari masjid, Presiden dan anggota rombongan melanjutkan untuk menapaki jejak Soekarno, seperti kunjungan Megawati tahun 2003, Presiden Yudhoyono mengunjungi galangan kapal Admiralty Shipyard yang akan memproduksi kapal selam pesanan TNI.
Betul, Soekarno Penggali Pancasila
Generasi muda dicekoki pelajaran sejarah yang salah
Dalam Dialog Wawasan Kebangsaan yang
diadakan pada 27 September 1995 dalam rangka 50 tahun kemerdekaan RI yang
diselenggarakan Senat Mahasiswa Universitas Udayana (Unud) Bali, tokoh pejuang
1945 Roeslan Abdulgani marah lantaran menurutnya generasi muda saat ini
dicekoki pelajaran sejarah yang salah hingga dikhawatirkan bis amerusak
kehidupan bangsa masa mendatang jika tak diluruskan.
Sejarah perjuangan bangsa Indonesia,
terutama yang menyangkut siapa pencetus dan penggali Pancasila, saat ini sudah
melenceng dari keadaan yang sebenarnya. Pencetus dan penggali Pancasila itu
adalah Bung Karno. Sedangkan pengetahuan sejarah anak muda sekarang dikacaukan
dengan pelajaran bahwa yang menggali Pancasila adalah Muhammad Yamin, bukan
Bung Karno. Padahal dari sejarah yang sebenarnya dan dikuatkan oleh kumpulan
karya tulis Muhammad Yamin yang ditemukan di Belanda, tokoh perjuangan bangsa
Indonesia itu menulis bahwa penggali Pancasila adalah Bung Karno.
Menurut Roeslan, dulu etika Bung
Karno dan Muhammad Yamin masih hidup, tidak ada yang mengusik siapa sebenarnya
penggali Pancasila. Baru ketika kedua tokoh itu meninggal, para ahli sejarah
mengutak-atik hingga melenceng dari sejarah yang sebenarnya.
Selain itu,dalam dialog Cak Roeslan
jugaa membeberkan banyak fakta sejarah yang dikaburkan seolah-olah ketika
kemerdekaan hingga masa permulaan Orde Baru suasana kacau dan tidak ada
pembangunan padahal sebenarnya pembangunan lebih difokuskan terhadap dasar
Negara serta beberapa proyek yang dibutuhkan rakyat, hanya tidak sebesar yang
ada saat Orde Baru karena ada upaya penguasa untuk menonjolkan apa yang
dilakukan tanpa mau melihat ke belakang.
Pancasila Bukan Hasil Renungan Satu
Malam
SUDAH tiga hari berlangsung siding
pertama Badan Penyelidik Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPKI), selama tiga
hari itu pulaBung Karno yang duduk di kursi nomor 1 di deretan pertama sebelah
kanan Fuku Kaico Rajiman Widjodiningrat, gelisah mendengarkan semua anggota
yang sudah berpidato. Terlalu jelimet yang mereka pidatokan, banyak syarat yang
mereka sebutan, seakan-akan kalau pada saat itu Jepang bersedia member kemerdekaan,
mungkin mereka belum siap menerimanya.
Kegelisahan
Bung Karno itu diungkapkannya dengan kata-kata, “Aku duduk mendengarkan
pembicaraan simpang siur ini dan membiarkan setiap orang mengerluarkan
pendapatnya. Buluku berdiri tegak mendengarkan mereka menjelaskan rencana
masing-masing yang mengemukakan segala macam perkara kecil-kecil. Mereka
terlalu banyak men-jika dan terlalu banyak mengira-ngira. Melihat ini semua
kukira tak seorang pun dari kami yang akan mengenal kemerdekaan hingga masuk ke
liang kubur. Kalau seandainya Jepang memerdekakan kami di hari itu juga
tentulah kami berkata: wah, tunggu
dulu…tahan dulu sebentar, kami masih belum siap,”
Rupanya,
anggota-anggota BPPKI dimaksud sangat berpengaruh oleh nasehat-nasehat para
pembesar Jepang, seperti: Saiko Sikikan (Pimpinan Pemerintahan Tertinggi),
Gunseikan (Panglima Tentara), RikugunTaishoo (Panglima Angkatan Darat), yang
kesemuanya memberi nasehat, agar anggota BPPKI menyelidiki usaha persiapan
kemerdekaan ini sejelimet-jelimetnya, sampai hal yang sekecil-kecilnya dan yang
sedalam-dalamnya. Diminta dan ditekankan oleh pembesar Jepang itu, bahwa
Indonesia Merdeka nantinya merupakan satu mata rantai dalam lingkungan
kemakmuran bersama di Asia Timur Raya.
Saat
rapat ditutup hari kamis tanggal 31 Mei itu, Bung Karno membawa kegelisahan
hatinya itu pulang. Seraya bergelut dengan pikirannya, apakah besok sebagai
pembicara tunggal dan yang terakhir, harus pula mengikuti nasehat
pembesar-pembesar militer Jepang itu? Berada dalam lingkungan Asia Timur Raya
dengan Jepang sebagai pemimpin, tidakkah itu berarti Indonesia Merdeka Harus
menjunjung tinggi filsafat Tenno Kooda Seishin (Semangat Kedewaan Kaisah
Jepang)?.
Malam
itu Bung Karno mencoba menunduhkan perasaan yang gelisah, mencari keteduhan
hati dan kekuatan batin dengan menyendiri di luar rumah. Tentang hal ini
berkata Bung Karno, “Di malam sebelumku berbicara aku berjalan ke luar di
pekarangan rumah kami. Seorang diri Dan menengadah memandangi bintang-bintang
di langit. Aku kagum akan kesempurnaan ciptaan-Nya. Aku meratap perlahan dalam
hatiku. Kepada Tuhan ku sampaikan, aku menangis dalam dadaku karena besok aku
akan menghadapi detik bersejarah dalam hidupku. Dan aku memerlukan bantuanMu.
Karena
Bung Karno menyepi, memohon pada Tuhan, tidak heran pula kalau ada orang
berkata, Bung Karno mendapat wahyu malam itu, dan wahyu itulah yang
disampaikanBung Karno besok harinya 1 Juni 1945. Artinya, Pancasila adalah
wahyu yang diterima Bung Karno dalam semedi semalam.
Untuk
menjernihkan persoalan marilah kita dengar ucapan Bung Karno tentang Pancasila
yang olehnya selain disebut “Dasar Indonesia Merdeka”, dikatakan pula sebagai
“Philosophische Grondslog” dan “Weltanschaung”. Di depan 60 anggota (Bung Karno
waktu itu tidak hadir), Bung Karno berkata, “Pancasila menjadi Trisila, Trisila
menjadi Ekasila. Tetapi terserah kepada tuan-tuan, mana yang tuan-tuan pilih;
Trisila, Ekasila atau Pancasila? Isinya telah saya katakan kepada
saudara-saudara semuanya. Prinsip-prinsip seperti yang saya usulkan kepada
saudara-saudara ini, adalah prinsip untuk Indonesia Merdeka yang abadi. Puluhan
tahun dadaku telah menggelora dengan prinsip-prinsip itu,”.
Fuku
Kaico Rajiman yang memimpin rapat saat itu mendengar perkataan itu diucapkan
Bung Karno, Oleh karena itu dalam buku “Lahirlah Pancasila”, pak Rajiman
memberikan Kata Pengatar dan menyinggung soal itu. Ditulisnya, “Bila kita
pelajari dan selidiki sungguh-sungguh “ Lahilah Pancasila” ini, akan tenyata
bahwa ini adalah satu Demokratisch Beginsel, yang menjadi Rechtsideologie
Negara kita; suatu Beginsel yang telah meresap dan beruratberakar dalam jiwa
Bung Karno, dan yang telah ke luar dari jiwanya secara spontan, meskipun sidang
di bawah pemilikan yang keras dari Pemerintah Balatentara Jepang. Memang Jiwa
yang berhasrat merdeka, tak mungkin dikekang-kekang”.
Apa
yang dikatakan Bung Karno bertahun-tahun kemudian pada Cindy Adams tentang
Pancasila marilah kita kutip seperlunya, “Enam belas tahun lamanya aku telah
mempersiapkan apa yang hendak ku katakan. Dalam kuburanku yang gelap di
Banceuy, maka landasan-landasan tempat republic di suatu waktu akan berpijak
sudah mulai tampak dalam pikiranku”.
Sekarang
mari kita ungkapkan fakta-fakta bahwa dalam dada Bung Karno memang sudah lama
terpendam dan berakar prinsip-prinsip Indonesia Merdeka itu. Di dalam pidato
Pancasila 1 Juni 1945 Bung Karno menyebut Sosio-Nasionalisme dan Sosio
Demokrasi dengan ketuhanan Yang Maha Esa, Jadilah Ketiganya Trisila.
Sosio-Nasionalisme
adalah gabungan dari Nasionalisme atau kebangsaan dengan Prikemanusiaan.
Sedangkan Sosio Demokrasi adalah gabungan dari Kerakyatan dengan Keadilan
Sosial. Jadi Ketuhanan, bersama Nasionalisme atau kebangsaan, Prikemanusiaan,
Kerakyatan dan Keadilan Sosial menjadi lima prinsip, yang disebut Pancasila.
Tentang
Sosio Nasionalisme dan Sosio Demokrasi ini Bung Karno telah menulisnya
berulang-ulang. Pertama kali muncul di Harian Fikiran Rakyat tahun 1932 dalam
tulisan berjudul:”Demokrasi Ekonomi”, Masih di Harian Fikiran Rakyat, di tahun
yang sama muncul tulisan kedua berjudul:”Sekali lagi Tentang Sosio Nasionalisme
dan Sosio Demokrasi”.
Masih
di Harian Fikiran Rakyat pada tahun 1933 Bung Karno menulis ,”Azas;Azas
Perjuangan; Taktik”. Kita kutip secukupnya saja, “Azas adalah dasar atau
“pegangan”,kita, yang “walau sampai lebur kiamat”, terus menentukan
“sikap”kita, terus menentukan “duduknya nyawa kita”. Azas tidak boleh kita
lepaskan, tidak boleh kita buang, walaupun kita sudah mencapai Indonesia
Merdeka, bahkan malahan sesudah tercapainya Indonesia Merdeka itu harus menjadi
dasar caranya kita menyusun kita punya masyarakat. Sebab sesudah Indonesia
Merdeka itu timbul pertanyaan: bagaimana kita menyusun kita punya pergaulan
hidup?.
Azas
yang dimaksud Bung Karno itu ialah Sosio Nasionalisme dan Sosio Demokrasi.
Dikatakannya, “Bukan sekarang saja kita “memegang” pada Sosio Nasionalisme dan
Sosio Demokrasi itu tetapi sampai sesudah merdeka, samapai sesudah
imperialism-kapitalisme hilang, ya “sampai lebur kiamat” kita tetap berazas
Sosio Nasionalisme dan Sosio Demokrasi.” Dikatakannya, “Bukan sekarang saja
kita “memegang” pada Sosio Nasionalisme dan Sosio Demokrasi itu tetapi sampai
sesudah merdeka, sampai sesudah imperialism-kapitalisme hilang, ya “sampai
lebur kiamat” kita tetap berazas Sosio Nasionalisme dan Sosio Demokratisme.”
Selanjutnya kemudian berulang-ulang Bung Karno menjelaskan Sosio Nasionalisme dan Sosio Demokrasi ini, dan dalam perjalanan Bung Karno di penjara, di pembuangan, azas itu menjadi lengkap digenapi dengan Ke-Tuhan-an Yang Maha Esa. Inilah lima sila dengan tidak tertulis lebih dahulu disampaikan Bung Karno Pada tanggal 1 Juni 1945, di siding BPPKI, untuk Dasar Indonesia Merdeka. Pidato ini disebut Pancasila
Dengan
telusur fakta-fakta sejarah demikian, tidak benar kalau Pancasila dikatakan
sebagai hasil renungan satu malam. Karena memang sudah lama hidup dalam kalbu
Bung Karno. Jadi Pancasila lahir dari hasil penggalian Bung Karno
bertahun-tahun.
Operasi
M16 dan CIA Mendongkel Bung Karno
Mereka
bermarkas di Phonix Park, Singapura. Mereka adalah agen-agen dinas intelijen
Inggris, M16, personel Army Psychological Warfare, dan orang- orang IRD (Information Research Departement). Belakangan
ketahuan IRD ternyata sebuah lembaga rahasia di Departemen Luar Negeri, yang
berurusan dengan propanganda anti-komunis dengan jaringan luas di seluruh
dunia.
Begitu Presiden Soekarno mengumumkan
kebijaksanaan Konfrontasi terhadap Malaysia, M16 dan IRD ditugaskan untuk
menjalankan misi rahasia untuk mendongkel Bung Karno. Tugas berat itu juga
dikoordinasikan dengan CIA, dinas intelijen AS yang sudah berkali-kali gagal
dalam tugas melenyapkan Bung Karno sejak tahun 1958.
Kesempatan baru datang setelah
meletusnya usaha kudeta gagal 30 September 1965. Operasi itu sempat ketahuan
karena bocornya kawat dari Dubes Inggris di Jakarta, Sir Andrew Gilchrist, ke
London. Isi kawat mengatakan seolah-olah Gilchrist sudah mengetahui lebih dulu
akan terjadi kudeta gagal itu.
Setelah peristiwa 30 September 1965,
Gilchrist kembali ke London dan meminta IRD dan M16 untuk meningkatkan
propaganda menjatuhkan Bung Karno, dengan meminta Norman Reddaway untuk datang
ke Phonix Park. Reddaway lalu dibayar 100.000 poundsterling dengan instruksi
“lakukan apa pun untuk melenyapkan Soekarno”.
Reddaway kemudian merekrut, seorang
wartawan radio BBC, Roland Chalis, juga wartawan The Times and Daily mail untuk
beroperasi di Jakarta. Mereka ini ditugaskan untuk menyebarkan berita maupun
analisis yang bertujuan mengundang kebencian rakyat terhadap Bung Karno dan
PKI.
Cara dan isi propaganda bukan cuma
melalui media massa. Phoenix Park juga menyebar botpl-botol berisi tulisan yang
caci-maki terhadap Bung Karno di Sungai Serawak, dengan harapan akan mengambang
sampai ke wilayah Indonesia. mereka juga melakukan opearasi pendaratan militer
di pantai utara pulau Jawa, untuk menimbulkan kesan bahwa pasuka Cina sudah
mendarat di Indonesia.
Harian Guardian secara khusus
menerbitkan propaganda mengenai kondisi kesehatan Bung Karno. “Kabarnya satu
atau kedua ginjal (Bung Karno) sudah diambil, ia juga menderita sakit jantung
serius…bahkan salah sebuah kaki dan sebuah mata sudah tak berfungsi lagi…”
Menurut Reddaway, cerita bohong itu
kemudian disebarluaskan melalui seorang wartawan Artherika berbasis di
Hongkong. “Dan tentu saja, karena berita itu bernilai tinggi maka ia tersebar
ke seluruh dunia itulah, cerita-cerita itu lalu tersebar ke Indonesia,” kata
Reddaway.
CIA pun ikut menyertakan kantornya
di Singapura dalam upaya mendongkel Bung Karno dengan cara mendukung dan
mendanai pemberontakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia).
Setelah bertemu dengan pimpinan pemberontakan bulan oktober 1957 di Padang,
selama lima bulan kemudian CIA menyuplai senjata untuk 8.000 personel.
Seluruh persenjataan itu dikirim
dengan kapal-kapal barang yang mendarat di Dumai atau Painan. Kapal-kapal selam
AS ikut berpartisipasi dengan membawa sejumlah pemberontakan untuk dilatih di
Okinawa, Saipan dan Guam. Bahkan persawat-persawat yang bisa mendarat di air
dikerahkan untuk menjemput pemberontakan di Danau Singkarak.
Pada tanggal 7 Desember 1957,
operasi intelijen ditingkatkan menjadi operasi militer yang dilakukan Satgas
AL. Dari Subic Bay (Filipina), sejumlah kapal perang AS dipimpin penjelajah
Princeton, bersama minimal 20 helikopter dan pasukan Third Marine Division,
melaju ke Singapura dalam posisi stand by.
Setelah PRRI menyatakan pisah
tanggal 15 Februari 1958 dengan dukungan
Washington. Armada ketujuh Pasifik AS membentuk Satgas 75 yang
ditempatkan di Singapura untuk mengantisipasi semua kemungkinan. Termasuk dalam
Satgas itu adalah kapal induk Ticonderoga, penghancur Shelton dan Eversole, dan
penjelajah Bremeton.
Menurut rencana, sekitar bulan
maret, dua batalyon pasukan Marinir AS akan didaratkan di Pekanbaru untuk
mengamankan perusahaan minyak Caltex dan Stanvac dan mengevakuasi warga mereka.
Tetapi sebelum pendaratan terjadi pasukan Indonesia segera dikirim dan
mengamankan wilayah itu, sebuah maneuver yang mengejutkan AS dan PRRI.
Keterlibatan CIA dalam operasi
militer AS terkuak ketika sebuah pembom B-26 ditembak jatuh di Ambon pada
tanggal 18 Mei 1958. Setelah berhasil menenggelamkan sebuah kapal ALRI. Sang
pilot, Allen Pope, tenyata orang CIA yang diutus dari pangkalan udara Clark di
Filipina. Pope diadili dan dijatuhi vonis hukuman mati dua tahun kemudian.
Amerika ketakutan karena kasus Pope
secara tak sengaja membuat malu para pejabat pemerintah, termasuk Presiden
Dwight Eisenhower.
Tetapi Pope tidak pernah dieksekusi.
Ia malah hanya dikenakan tahanan rumah berkat perundingan antara Jaksa Agung
Robert Kennedy yang mengadakan kunjungan ke Jakarta untuk menemui Bung Karno.
Dengan jiwa besar, Presiden Soekarno
membebaskan dan mengampuni Pope. “Saya tidak mau memakai soal ini sebagai
propaganda. Sekarang pergilah Kamu diam-diam saja di Amerika. Jangan kelihatan
di depan umum. Jangan memberikan wawancara. Jangan mengeluarkan pernyataan.
Kamu pulang saja, sembunyi, menghilang, dan kita lupakan saja apa yang
terjadi,” kata Bung Karno.
Halal Bihalal Adalah Gagasan Bung Karno
Jakarta (Simponi) 28-7-84
Halal bihalal yang telah menjadi
kebiasaan di Indonesia, sebagai kelanjutan dari perayaan Idul Fitri, hanya
terdapat di negeri kita. Di negeri asal negara Islam itu sendiri, tidak dikenal
cara merayakan Idul Fitri dengan halal bihalal. Demikian diungkapkan oleh
Sudibyo, yang dulu dikenal sebagai tokoh PSII, dan Sekjen Front Nasional. Saya
sendiri tidak tahu, kapan acara halal bihalal ini mulai berlaku di Indonesia,
namun pada masa penjajahan dulu, acara seperti ini belum ada, kata pak Dibyo
lebih lanjut. Lalu beliau menjelaskan sembari memberi ceramah dalam rangka
halal bihalal Yayasan Pendidikan Soekarno (YPS) pada tanggal 12 Juli yang lalu,
bahwa satu hari dalam bulan syawal ini waktu sholat jumat disalah satu masjid
di Jakarta, Khotib dalam Khotbahnya menceritakan begini; Pada tahun 1946,
Presiden Soekarno mengundang beberapa tokoh muhammadiyah itu disampaikan satu
ide, bagaimana bisa diadakan satu pertemuan dalam rangka perayaan Idul Fitri,
dimana rakyat dapat bertemu dan bermaaf-maafan, tidak saja antara umat Islam
tapi juga dapat dihadiri oleh umat luar Islam. Gagasan Bung Karno itu diterima
oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah. Lalu pada tahun 1946 itu, mulai diadakan apa
yang kini kita kenal sebagai halal bihalal, demikian Sudibyo mensitir kembali
apa yang dikhobatbahkan oleh khotib itu.
Pembaharuan Islam
Dalam rangka bihalal YPS itu juga haji Dr.
Ruslan Abdulgani menyampaikan ceramah. Salah satu isi ceramah beliau, yang amat
menarik, ialah apa yang ia baca dalam resensi sebuah buku terbitan Kairo
(Mesir) yang telah diterjemahkan kedalam bahasa Inggris. Dalam resensi itu,
kata pak Ruslan, disebutkan bahwa dalam abad ke 20 ini terdapat 2 orang
pembaharu Islam. Salah seorang diantaranya ialah Ir. Soekarno dari Indonesia. Boleh
jadi, “surat-surat dari Endeh” yang terdapat dalam “Dibawah bendera Revolusi”
jilid 1, merupakan alasan bagi penerbit buku dari Kairo itu untuk menyebut Bung
Karno sebagai Pembaharu Islam, kata pak Ruslan. Dalam hubungan ini perlu
ditambahkan, bahwa Bung Karno telah mendapat 2 gelar doctor honoris causa dalam
hal keislaman, yaitu satu dari Institut Agama Islam Negeri (LAIN) Jakarta
tentang syiar Islam, pada tahun 1964. Selain itu Bung Karno juga mendapat gelar
Waliul Umri dari konferensi Islam Asia-Afrika, yang disebut sebagai Pahlawan
Islam dari kemerdekaan.